
Jalak Tunggir Merah – Keberadaannya di daerah yang bukan semestinya, dinilai berpotensi mengancam keberadaan spesies lokal.
KEBERADAAN burung Jalak Tunggir Merah (Scissirostrum Dubium) yang belum lama ini ditemukan di Desa Cicadas (Panaruban), Kabupaten Subang, Jawa Barat, merupakan suatu fenomena unik yang cukup menarik perhatian para peneliti. Pasalnya, burung eksotis tersebut merupakan spesies endemik Sulawesi yang hingga saat ini diasumsikan tidak memiliki kemampuan untuk bermigrasi ke tempat lain.
“Masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa burung Jalak Tunggir Merah mempunyai kemampuan untuk migrasi, karena hingga saat ini belum ada penelitiannya,” ucap Nadia Rahma Yusnita (24), koordinator Bird Conservation Society (BICONS) saat diwawancarai di salah satu café, Jalan Dipatiukur, Selasa (25/5).
Di Jawa Barat, Jalak Tunggir Merah diketahui ada di daerah Panaruban, Kabupaten Subang. Keberadaannya pertama kali terdeteksi pada tahun 2005 oleh sekelompok mahasiswa Jurusan Biologi yang sedang melakukan penelitian ke tempat tersebut. Namun tanpa diduga, hingga saat ini jumlahnya makin berkembang pesat.
Di pulau Sulawesi itu sendiri yang merupakan habitat aslinya, penelitian tentang spesies burung ini belum pernah dilakukan. “Namun bagi pengamat burung di daerah lain seperti di Jawa Barat, tentunya ini menjadi objek penelitian yang cukup menarik. Mengingat yang namanya burung endemik itu daerah penyebarannya terbatas. Pada kenyataannya, saat ini mereka malah berkembang biak dengan pesat,” ujar Nadia.
Tidak mudah untuk dapat menyaksikan keberadaan burung tersebut. Di Panaruban, terdapat setidaknya 17 titik penyebaran yang terdeteksi sering dihinggapi oleh burung Jalak Tunggir Merah, yaitu di Abria (AB), Awi Lega (AW), Pasir Golosor (PG) dan Pasir Pentog (PP).
Sejauh pengamatan penulis saat menyambangi lokasi penelitian, Sabtu (29/5), dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan dengan jarak tempuh sekitar lima kilometer hingga dapat tiba di bukit Pasir Pentog, salah satu tempat yang paling sering dikunjungi oleh burung Jalak Tunggir Merah. Untuk dapat tiba di lokasi pengamatan, peneliti harus melalui hutan sekunder dengan track yang cukup terjal dan berkelok.
Namun sayang, hingga akhir perjalanan ke wilayah Panaruban, tidak ada seekor pun burung Jalak Tunggir Merah yang kebetulan dapat terlihat. “Biasanya jam segini mereka bertengger di pohon itu,” kata Reno Febrianto (23) salah satu tim peneliti dari Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), sambil menunjuk ke arah pohon Sobsi yang memiliki tinggi sekitar delapan meter itu. “Tapi kedatangannya juga nggak bisa di prediksi secara pasti, tergantung kondisi cuaca dan arah angin,” katanya meneruskan.
Mudah Beradaptasi
Hingga saat ini, asal mula adanya burung yang bersifat diurnal (mencari makan di siang hari) tersebut masih dipertanyakan. Pakar ornitologi, Dr. Ruhyat Partasasmita, M.Si berasumsi bahwa keberadaan burung Jalak Tunggir Merah di daerah Panaruban, diprediksi telah ada sekitar 20 tahun yang lalu. “Jika dilihat dari laju perkembangan populasinya yang begitu cepat, saya memprediksi burung ini telah ada di Panaruban sejak tahun 1990-an,” ungkap peneliti burung yang telah menggeluti bidang tersebut selama lebih dari 16 tahun itu.
Jalak Tunggir Merah diyakini sebagai burung yang memiliki kemampuan adaptasi cukup tinggi. Dalam habitatnya, burung tersebut biasa hidup dalam kelompok yang berjumlah tiga hingga lima ekor. Mereka pun suka membuat lubang sebagai sarang di pepohonan tua yang sudah mati. Sebagai pakan, Jalak Tunggir Merah biasa memakan serangga seperti kepik dan semut. Selain itu, mereka juga diketahui memakan tanaman liar seperti kipapatong, sobsi dan buah-buahan berbiji.
Kemampuan adaptasi yang cukup tinggi ini dinilai berpotensi mengancam keberadaan spesies lokal. Ruhyat berasumsi, hingga sejauh ini burung Jalak Tunggir Merah terlihat kerap berkompetisi dengan burung Takur (Megalaima Sp.) dalam perebutan sarang. “Dia adaptif karena kebutuhan sarang dan makanannya dapat terpenuhi di sini. Kalau kebutuhannya terpenuhi, maka dia akan cepat berkembang. Ada asumsi dia bisa mengalahkan spesies burung lokal dalam hal pemenuhan kebutuhan,” tuturnya.
Lebih lanjut Ruhyat memaparkan, untuk mendapat kepastian bahwa burung ini betul-betul endemik Sulawesi, selanjutnya ia akan segera mengecek DNA dari burung Jalak Tunggir Merah tersebut di laboratorium Universitas Atmadjaya, Yogyakarta. Menurut dia, hasil penelitian tersebut akan dapat dilihat pada akhir bulan November 2010 yang akan datang. ***
Albiansyah
Jika Burung Tidak Hidup di Habitatnya

Peta Penyebaran Burung Jalak Tunggir Merah di desa Cicadas (Panaruban), kabupaten Subang, Jawa Barat
KICAUAN serta keindahan bentuk dan warnanya, menjadi daya tarik utama seekor burung. Hal itu sering kali membuat banyak orang terpukau dan ingin memilikinya sebagai hewan peliharaan.
Besarnya permintaan pasar pada akhirnya menjadi faktor utama yang mendorong manusia untuk terus berburu dan mengeksploitasi keberadaan unggas tersebut dari habitatnya. Tidak jarang, pada akhirnya burung-burung tersebut menjadi barang perdagangan antarpulau, bahkan antarnegara.
Sejauh pemantauan penulis, Jalak Tunggir Merah banyak diperdagangkan di beberapa pasar burung yang ada di Kota Bandung. Di pasar burung Sukahaji misalnya, terdapat lebih dari 50 burung Jalak Tunggir Merah yang dijual dengan harga sekitar Rp 150 ribu per ekor. Tidak menutup kemungkinan pula burung tersebut dapat terlepas dari sangkarnya.
Perdagangan burung antarpulau merupakan salah satu asumsi penyebab adanya burung Jalak Tunggir Merah di sekitar Panaruban. Asumsi lain mengatakan bahwa burung tersebut secara sengaja dilepaskan sebagai syarat ritual keagamaan yang kerap dilakukan umat Budha di kawasan wisata Gunung Tangkubanparahu. Mereka biasa melakukan pelepasan burung dan binatang lainnya dengan keyakinan hal tersebut akan mendatangkan karma baik.
Namun, tampaknya sebagian dari masyarakat kita belum mengetahui bahwa kehadiran spesies burung lain di tempat yang bukan semestinya, berpotensi pada pergeseran spesies burung lokal. Terlebih lagi bila burung tersebut memiliki kemampuan adaptasi tinggi. Pergeseran tersebut dapat diakibatkan oleh adanya kompetisi, baik dari segi perebutan makanan maupun wilayah teritorial (tempat tinggal).
Kompetitor Burung Lokal
Kehadiran burung Jalak Tunggir Merah di wilayah Panaruban sedikit atau banyak diprediksi telah mengancam keberadaan spesies burung lokal. Ruhyat mengatakan, hingga sejauh ini mereka terlihat menjadi kompetitor sarang bagi bagi spesies burung Takur (Megalaima Sp.), karena keduanya sama-sama bersarang di pohon tua yang sudah mati.
Hal ini dinilai bukan suatu perkara sepele. Pasalnya, ketersediaan pohon mati di wilayah Panaruban sangat terbatas. Hal itu tidak diimbangi dengan jumlah burung yang kian bertambah. “Dugaan saya sejauh ini mereka berkompetisi pada sarang, karena ketersediaan jumlah pohon mati di sini masih terbatas. Jadi yang sangat riskan, ia akan menggeser tempat-tempat potensial bagi spesies Megalaima. Kalau yang saya perhatikan, Megalaima selalu kabur ketika ada Jalak Tunggir Merah,” ungkapnya.
Lebih lanjut Ruhyat menjelaskan, dalam hal makanan, hingga sejauh ini belum terjadi persaingan yang signifikan, karena ketersediaan distribusi makanan di Panaruban masih cukup banyak.
“Hybrid” (Perkawinan Silang)
Walaupun dilihat dari urutan taksonominya berbeda, namun para peneliti kerap memergoki burung Jalak Tunggir Merah dan burung Perling (Aplonis Minor) hidup bersama dalam satu kelompok. Adanya fenomena tersebut dikhawatirkan berbagai pihak akan menjadi masalah baru yang akan membuat geger dunia Biologi.
“Itu yang saya khawatirkan. Kalau spesies itu selalu bersama dan tidak ada konflik, lama-lama bisa terjadi tidak adanya pembatas aktifitas reproduksi antara satu dengan yang lain. Tapi seharusnya peluang untuk bisa breeding itu kecil, karena sejauh ini yang saya lihat masa birahinya masih berbeda,” tuturnya.
Selain itu, menurut Ruhyat, untuk memberikan klasifikasi taksonomi (penamaan ilmiah) pada spesies baru tidaklah mudah. Sebelumnya, peneliti harus melalui proses birokrasi akademis yang cukup sulit dan berbelit-belit.
Kekhawatiran serupa dirasakan oleh Nadia. Jika perkawinan antarspesies itu terjadi hingga menghasilkan spesies baru, ia menduga akan menjadi permasalahan baru akibat ketidakjelasan posisi taksonomi dari spesies yang kelak dihasilkan. “Selain itu yang ditakutkan, adanya spesies baru itu akan makin mengancam keberadaan spesies lain,” ucapnya.***
Albiansyah
(Dimuat di harian Pikiran Rakyat, edisi: 10 Juni 2010)