Bicons, Tebarkan Virus Cinta Burung


ANGGOTA Bicons berfoto disela acara pengamatan burung di Taman Ganeca, Bandung, Minggu (27/6/2010).

BANYAK cara yang dapat dilakukan untuk ikut serta dalam pelestarian alam. Salah satunya, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam Bird Conservation Society (Bicons) di Taman Ganeca, Minggu (27/6/2010) yang lalu.

Dengan membawa beberapa beberapa jenis teropong, di sana, mereka mengamati keberadaan burung yang berada di sekitar tempat tersebut. Tidak jarang, anak-anak atau pun para pejalan kaki yang kebetulan sedang melintas, menghampiri mereka dan tertarik untuk ikut mengamati keberadaan burung di tempat tersebut.

“Tujuannya adalah untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat tentang konservasi burung dan habitatnya,” ucap Dani Heryadi, salah satu pendiri Bicons saat berbincang dengan Penulis di sela-sela kegiatan pengamatan burung.

Bicons pertamakali didirikan oleh sembilan mahasiswa dari jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Unpad pada 24 September 1999. Dani mengatakan, awalnya, para pencinta burung ini sering berkumpul untuk bersama-sama melakukan pengamatan dan penelitian burung di berbagai tempat. Sejak saat itulah, muncul ide untuk mendirikan wadah yang berfungsi sebagai ajang pertukaran informasi bagi para pencinta burung ini.

Walaupun didirikan oleh sekelompok mahasiswa dari jurusan Biologi Unpad, dalam perkembangannya, anggota Bicons kian bertambah dari berbagai latar belakang yang berbeda. Tauny Akbari misalnya. Mahasiswi jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Perguruan Indonesia (UPI) ini mengaku, disini ia dapat meningkatkan wawasan terhadap beragam jenis burung dan lingkungan sekitar.“Manfaatnya selain punya wadah untuk menyalurkan cinta lingkungan, disini saya bisa nambah temen juga,” katanya.

Hingga saat ini, Bicons memiliki sekitar 120 anggota yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Komunitas ini juga terbuka untuk masyarakat umum, yang memiliki ketertarikan terhadap burung dan lingkungan sekitar. “Nggak ada persyaratan khusus untuk jadi anggota. Yang jelas mereka punya ketertarikan terhadap burung, terus tinggal mengisi formulir registrasi,” tutur Nadia Rahma Yusnita, koordinator Bicons.

Berbagai Kegiatan

Kepedulian terhadap pelestarian burung dan lingkungan hidup mendorong komunitas ini untuk membentuk berbagai program kegiatan, yang mengacu kepada misi konservasi. “Kalau kegiatan yang rutin seperti sekarang ini. Kita melakukan pengamatan di taman kota setiap hari minggu atau yang kita sebut dengan Sunday Bird Watching,” ucap Nadia.

Selain itu, anggota Bicons sering melakukan pengamatan burung ke beberapa tempat, di daerah Bandung dan sekitarnya. Mereka biasa menyebutnya dengan nama Bird Tour. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengunjungi suatu daerah, dan mengamati secara langsung kehidupan burung yang mendiami daerah tersebut.

Kegiatan Bird Tour itu sendiri bersifat outbond. Konsep yang diusung Bicons disini menganut tiga pilar segitiga sama sisi yang kelak akan saling berhubungan, yaitu intelegensi (kemampuan berfikir cepat), challenge (menghadapi tantangan yang ada) dan skill (memanfaatkan kemampuan yang dimiliki).


PENGAMATAN burung*

Nadia mengatakan, pengamatan burung secara outbond ini hampir rutin dilaksanakan selama tiga bulan sekali. Dalam kegiatan tersebut, anggota Bicons biasa menuliskan hasil pengamatan yang berupa taksonomi burung yang ditemui anggota selama perjalanan. “Untuk anggota baru, kegiatan ini berfungsi sebagai ajang untuk belajar mengidentifikasi burung. Selain itu, hasil pengamatan yang kita dapat juga berguna untuk menambah database,” paparnya.

Kegiatan Raptor Watch (pengamatan burung migrasi pemangsa) tidak kalah menarik. Bayangkan, puluhan bahkan hingga ratusan ribu ekor burung yang berasal dari belahan bumi bagian Utara seperti Eropa, Cina, Jepang dan daratan Amerika, melakukan perpindahan ke wilayah selatan bumi, termasuk Indonesia.

Menurut Nadia, fenomena unik yang berlangsung secara berkala setiap tahunnya ini, sangat menarik untuk diamati dan dapat disaksikan oleh siapa pun. “Monitoring ini biasanya dilakukan pada akhir bulan Agustus. Mereka biasanya melintas juga ke Taman Ganesha, atau di sekitar Jatinangor,” katanya.

Sarang Burung Buatan

Seperti yang dapat disaksikan, pesatnya pembangunan yang terjadi di beberapa kota besar, seringkali menggusur keberadaan pepohonan yang biasa dijadikan tempat burung bersarang. Keadaan tersebut tentunya makin menggeser tempat strategis bagi kehidupan dan sarana berkembangbiak burung.

“Yang kita lihat, ini berhubungan ke fungsi masing-masing elemen di alam. Kalau burung dibiarkan di alam, berarti secara tidak langsung ikut menjaga kelestarian. Karena membiarkan burung menjalani fungsinya,” ungkap Dani.Untuk mendukung upaya konservasinya tersebut, Bicons pun ikut berperan aktif dalam kegiatan sosialisasi kepada masyarakat.

Selain melalui Sunday Bird Watching, kegiatan sosialisasi tersebut biasa diaplikasikan dalam bentuk pemberian materi kepada masyarakat, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat Mahasiswa dan masyarakat umum.

Disamping diberitahu tentang pentingnya menjaga lingkungan alam demi menjaga habitat burung, dalam kegiatan sosialisasi tersebut, masyarakat juga diajarkan untuk membuat kotak sarang burung. “Ini program untuk mendatangkan burung ke rumah, dengan memanfaatkan barang sisa untuk bikin sarang buatan,” kata Yogi Shofyadi, salah satu anggota Bicons.

Pembuatan kotak sarang burung ini dianggap menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan masalah makin sempitnya ruang hijau di kota Bandung. Dengan demikian, diharapkan burung bisa tetap hidup dan berkembangbiak, walau pun ditengah derasnya arus modernisasi seperti saat ini. ***

Albiansyah

Burung Lebih Indah di Alam

Burung camar, tinggi melayang,

Bersahutan, dibalik awan,

Tak kenal duka derita tak kenal nestapa,

Ceria penuh pesona …

PETIKAN lagu karya Vina Panduwinata tersebut mungkin bisa menjadi sedikit gambaran, betapa indahnya bila burung dibiarkan hidup di alam bebas. Keadaan tersebut dapat berbanding terbalik ketika kita melihat burung yang terkurung dalam sangkar. Selain tidak bisa bergerak bebas, jika berada di dalam sangkar, burung juga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai penyeimbang ekosistem di alam.

Burung memiliki peranan yang cukup besar bagi alam dan lingkungan sekitar. Diantaranya adalah untuk membantu proses penyerbukan, penyebar biji tanaman, pengendali populasi infekta (serangga) dan sebagai mangsa bagi hewan predator. Selain itu, ada pula burung predator yang berperanan sebagai pengontrol berkembangbiaknya populasi makhluk lain seperti tikus, ular dan semut.

Namun sayang, hingga saat ini, tampaknya sebagian besar dari masyarakat Indonesia belum menyadari akan pentingnya keberadaan burung bagi lingkungan sekitar. Hal tersebut terbukti dari makin maraknya perburuan liar, yang mengakibatkan populasi burung di alam semakin berkurang.

“Burung itu perlu makanan, perlu teman dan juga perlu kesehatan untuk melatih otot-ototnya. Dengan membiarkan burung hidup di alam, pasti akan ada timbal balik untuk kita. Seperti untuk mengontrol populasi ular dan semut. Selain itu juga, untuk menyebarkan biji agar dapat tumbuh pohon,” ucap Yogi Shofyadi.

Lebih lanjut Yogi mengatakan, upaya penyadartahuan kepada masyarakat tentang konservasi burung sangatlah diperlukan. Mengingat selama ini, permintaan burung di kota-kota besar makin meningkat. “Selama ini kita mencoba untuk memutuskan rantai supply and demands ini dengan cara melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk melihat burung yang ada di alam. Seperti yang kita lakukan tiap hari minggu disini,” katanya.

Eksploitasi Burung di Indonesia

Indonesia mungkin bisa dibilang negara yang kaya akan sumber daya alam. Kendati demikian, negri ini juga memiliki beragam jenis satwa liar yang saat ini berstatus terancam punah. Tidak menutup kemungkinan pula satwa tersebut dapat benar-benar punah dari alam, bila tidak adanya tindak penyelamatan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pro Fauna Indonesia, terdapat 114 jenis burung yang hingga saat ini berstatus terancam punah. Selain itu, 95% dari burung yang dijual di pasar merupakan hasil perburuan liar, bukan hasil penangkaran. Yang lebih mengenaskan, lebih dari 20% satwa yang dijual tersebut mati akibat cara pengangkutan yang tidak layak.

Yogi mengatakan, kebanyakan dari burung hasil penangkapan liar tersebut seringkali ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan. Ia tidak lagi dapat hidup normal layaknya burung lain yang hidup di alam bebas. “Kalau burung yang sudah di pelihara, biasanya ia susah untuk dikembalikan lagi ke alam. Butuh adaptasi yang cukup lama untuk mengembalikan ke kondisinya semula,” tuturnya.***

Albiansyah

Tinggalkan komentar