Banyak ilmuan di dunia ini yang mencoba untuk mengadaptasi perilaku atau struktur tubuh hewan, sebagai bahan untuk penciptaan teknologi baru. Seperti konstruksi pesawat yang diadaptasi dengan menggunakan prinsip terbang sayap burung, model helikopter Sikorsky yang meniru rancangan manuver dari seekor capung, dan masih banyak lagi bentuk teknologi lainnya.
Tidak hanya dari hewan darat seperti burung dan capung. Karena ternyata, mamalia laut seperti lumba-lumba pun memiliki andil yang cukup besar sebagai inspirasi bagi para ilmuwan, dalam mengembangkan bidang teknologi.
Pada teknologi kapal selam misalnya. Setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, para insinyur Jerman yang menemukan desain sel kulit lumba-lumba, menirunya dan berhasil membuat lapisan luar kapal selam dengan sifat yang sama.
Hal tersebut pernah dijabarkan oleh Harun Yahya, seorang penulis dan ilmuwan Islam asal Turki dalam bukunya yang berjudul ‘For Men of Understanding’. Menurutnya, struktur tubuh lumba-lumba yang berbentuk kumparan memberi mereka kemampuan bergerak sangat cepat di dalam air. Hal inilah yang dipercaya dapat menginspirasi para ilmuwan untuk mengembangkan teknologi kapal selam.
Struktur rancangan kapal selam terdiri atas dua lapisan karet, dan diantara kedua lapisan itu terdapat sebuah gelembung seperti yang ada pada sel kulit lumba-lumba. “Ketika lapisan ini digunakan, kecepatan kapal selam meningkat hingga 250%,” tulis pria kelahiran 2 Februari 1956 ini, dalam buku tersebut.
Selain itu, ilmuan yang dikenal sebagai pembantah teori evolusi (darwinisme) ini juga menuturkan bahwa kapal selam modern kini telah menggunakan sistem sonar sebagai perangkat navigasi di dalam air. Sistem sonar yang sama juga nyatanya telah digunakan lumba-lumba sebagai perangkat navigasi sejak pertamakali mamalia laut ini “diciptakan”.
Dari organ khusus pada bagian kepalanya, lumba-lumba dapat memancarkan gelombang bunyi sebesar 200.000 hertz (getaran per detik). Dengan bantuan getaran ini, mereka dapat memperkirakan arah, jarak, ukuran, kecepatan dan segala bentuk rintangan yang ada dalam perjalanan mereka. “The working principle of sonar is the same as this faculty of dolphins – prinsip kerja sonar (dalam kapal selam) sama dengan kemampuan yang dimiliki lumba-lumba,” ungkap Harun Yahya.
Terapi Pengobatan Autisme
Tidak sebatas diadaptasi oleh teknologi kapal selam, dalam perkembangannya, kemampuan sonar juga dipercaya oleh beberapa ilmuan dapat meredakan penyakit gangguan saraf, khususnya pada anak-anak penderita autisme.
Terapi ini dimulai oleh Dr. Betsy Smith, seorang antropolog pendidikan, setelah ia melihat efek terapis lumba-lumba pada saudaranya yang mengalami gangguan saraf. Beberapa tahun kemudian, terapi ini kembali dikembangkan oleh David E. Nathanson, Ph.D di Dolphin Human Therapy Centre yang berkantor pusat di Florida, Amerika Serikat.
Untuk mengikuti program terapi ini, anak penderita autis biasanya akan diminta untuk berinteraksi langsung dengan cara berenang, memberi makan, ataupun mengelus lumba-lumba tersebut. Dalam websitenya, Nathanson membagi program terapi ini berdasarkan tingkat kebutuhan yang dinilai sesuai untuk pasien.
Terapi lumba-lumba ini, diakuinya tidak bisa menyembuhkan sepenuhnya. Akan tetapi, ia menilai bahwa terapi ini dapat meredakan beberapa gejala autisme dengan cara menguatkan proses penyembuhan mereka.
Hal serupa dikemukakan pula oleh Dr Cole, Direktur The Aquathought Foundation. Menurutnya, gelombang ultrasound yang dikeluarkan lumba-lumba sangat kuat, sehingga bisa menyebabkan pembentukan lubang di struktur molekul cairan dan jaringan lunak. Bunyi ini ia nilai dapat membuat kedua belahan otak lebih sinkron, sehingga komunikasi antara otak kanan dan kiri menjadi jauh lebih baik.
Kendati demikian, argumen mengenai adanya khasiat terapi lumba-lumba ini dibantah oleh Lori Marino dan Scott Lilienfeld, dua peneliti dari Universitas Emory, Atlanta, negara bagian Georga, Amerika Serikat. Menurutnya, hingga saat ini belum ditemukan bukti ilmiah yang menunjukan manfaat dari terapi lumba-lumba sebagai pengobat gangguan saraf.
Sejak tahun 1998, dua peneliti ini telah melakukan lima penelitian yang menunjukan bahwa klaim khasiat terapi lumba-lumba merupakan sebuah pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. “Terapi lumba-lumba bukanlah pengobatan yang valid untuk jenis penyakit apapun,” ujar Morino seperti dilansir sciencedaily.com.
Dalam salah satu penelitiannya tersebut, Marino dan Lilienfeld menyebutkan bahwa lumba-lumba hanya dapat membantu anak autis dalam berinteraksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terapi ini hanya akan dapat menimbulkan efek relaksasi yang bersifat sementara. Dosen biologi senior ini juga menambahkan, bahwa konsumen yang membayar ribuan dolar untuk mengikuti terapi ini tidak hanya akan merugi secara finansial, akan tetapi juga dapat berisiko terkena infeksi dan cedera.
Morino menuturkan, dengan terus menggunakan terapi ini, artinya mereka juga telah mendukung upaya eksploitasi terhadap lumba-lumba. “Jika orang-orang tahu bagaimana cara hewan-hewan ini ditangkap, saya pikir, mereka tidak akan mau berenang bersama atau berpartisipasi dalam terapi pengobatan lumba-lumba ini,” paparnya.***