Dalam ranah konservasi lumba-lumba di tingkat internasional, namanya sudah tidak asing lagi terdengar. Ia merupakan salah satu aktivis yang secara tegas menentang keberadaan atraksi lumba-lumba…
PADA tahun 1960-an, Richard O’Barry dikenal sebagai seorang pelatih lumba-lumba yang cukup tersohor. Saat itu, namanya cukup dikenal publik karena ia bekerja dalam salah satu industri pertelevisian di Florida, Amerika Serikat yang dikenal dengan nama Filpper.
Dalam acara tersebut, dikisahkan bahwa lumba-lumba merupakan seekor hewan cerdas yang suka menyelamatkan nyawa manusia. Tidak hanya sekedar menuai popularitas yang cukup tinggi, O’Barry juga disebut-sebut sempat mendapatkan penghasilan yang cukup besar dari industri perfilman tersebut.
Hingga pada suatu hari, tahun 1970-an, salah satu dari lima lumba-lumba yang biasa digunakan dalam acara televisi serial tersebut berenang menghampiri O’Barry. Namun sayang, tidak lama setelah itu, lumba-lumba yang diberi nama Kathy itu pun akhirnya mati dalam pelukannya.
Sejak saat itu, O’Barry mulai mengubah pola pikirnya dalam memandang lumba-lumba secara lebih radikal. Ia rela meninggalkan profesinya sebagai pelatih lumba-lumba, dan beralih menjadi seorang aktivis yang secara tegas memerangi industri lumba-lumba di tingkat internasional.
Pria kelahiran tahun 1939 ini menilai bahwa pertunjukan ketangkasan lumba-lumba merupakan sebuah acara yang terbilang sangat kejam. Kondisi tersebut bahkan dinilainya lebih buruk daripada yang dialami oleh hewan dalam kebun binatang. Pasalnya, lumba-lumba sangat sensitif terhadap suara dan dapat kehilangan kemampuan sonar – sistem gelombang suara bawah air – ketika mereka terkurung dalam ruangan yang sempit.
Hingga saat ini, O’Barry telah banyak menuai keberhasilan dalam merehabilitasi dan melepaskan kembali lumba-lumba dari “penampungan” ke habitat alaminya, di lebih dari 70 negara yang ada di dunia.
Tidak hanya itu, ia juga banyak mengkritisi masalah pembantaian lumba-lumba sebagai bahan konsumsi seperti yang marak terjadi di Kota Taiji, Jepang. Pasalnya di perkampungan nelayan tersebut, perburuan terhadap lumba-lumba sangat marak terjadi setiap tahunnya dan telah menjadi budaya bagi penduduk setempat.
Dedikasinya yang tinggi dalam dunia konservasi lumba-lumba tersebut kini telah tersaji dalam sebuah film dokumenter berjudul “The Cove”. Selain membahas tentang sepak terjang O’Barry dalam konservasi lumba-lumba, film dokumenter berdurasi 91 menit ini juga banyak mengkritisi mengenai kasus pembantaian lumba-lumba yang terjadi di Negeri Sakura ini. Berikut adalah trailer dari film dokumenter “The Cove”:
Pasca diluncurkannya film dokumenter tersebut, Kota Taiji menjadi makin terkenal dan menjadi sorotan dunia. Tak ayal, beragam kecaman atas pembantaian lumba-lumba ini pun muncul dari berbagai kalangan. Kisah inspiratif dalam film tersebut berhasil membawa O’Barry meraih sedikitnya 46 penghargaan di beberapa festival film tingkat internasional.
Dalam mengemban misi penyelamatan lumba-lumba, selama sekitar 40 tahun belakangan ini O’Barry selalu berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat melalui kegiatan kampanye dan seminar yang diselenggarakan di berbagai negara. Di Indonesia misalnya, ia tercatat pernah memberikan kuliah umum tentang lumba-lumba pada mahasiswa Biologi, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.
Mengenai kecintaan dan kepeduliannya terhadap lumba-lumba, O’Barry juga pernah menulis dua buah buku. Pertama, buku dengan judul “Behind The Dolphins Smile” yang diterbitkan pada tahun 1989, serta bukunya yang kedua dengan judul “To Free a Dolphins” yang diterbitkan pada tahun 2000 lalu.
Oleh karenanya, tidak mengherankan jika namanya kini telah banyak diakui oleh dunia internasional atas dedikasinya tersebut. Pada tahun 2010 lalu juga, O’Barry terpilih sebagai penerima penghargaan “Most Influential Green Game Changer” di bidang lingkungan hidup oleh Huffington Posts.***
(Diolah dari berbagai sumber)