Eksploitasi Satwa di ‘Turtle Farm’ Tanjung Benoa


Salah satu kawan saya pernah mengatakan, bila hendak berkunjung ke Pulau Dewata, jangan lupa mencatat wahana Tanjung Benoa Watersport sebagai salah satu target wisata yang patut kita kunjungi. Kawasan ini berada di ujung tenggara pulau Bali, dan terletak bertetanggaan dengan kawasan Nusa Dua.

Ciri khas dari Pantai Tanjung Benoa, bila dibandingkan dengan tempat wisata lain yang ada di Pulau Bali, adalah keberadaan pantai dengan air yang sangat tenang. Oleh karena itu, tidak heran bila tempat ini dijadikan sebagai wahana kegiatan olahraga air (watersport), mulai dari jetski, parasailing, banana boat, diving, snorkeling, dan lainnya.

Selain wahana tersebut, melalui informasi dari beach boy setempat, saya juga mendengar kabar tentang adanya pusat penangkaran penyu. “Lokasinya nggak jauh. Tinggal menyebrang pulau, cuma 15 menit pakai perahu boat,” katanya dengan logat Bali yang sangat kental.

“Berapa harganya, Bli?” tanya saya.

“Murah, 500 ribu saja. Ini sudah diskon, kalau hari biasa tarifnya bisa sampai 700 ribu,” jawabnya sambil menyodorkan brosur paket wisata.

“Buset. Mahal amat, Bli,” ucap saya spontan sambil melihat-lihat price list. Negosiasi berlangsung cukup alot, hingga akhirnya, saya berhasil mendapatkan harga Rp. 350.000,- untuk penyeberangan menuju pulau penyu tersebut.

Kami akhirnya berangkat dengan menaiki perahu boat warna biru. Di tengah perjalanan, perahu dihentikan sejenak agar kami dapat menikmati keindahan “akuarium alami” dengan mengintip kaca bening yang ada di bagian tengah perahu – tepat di depan tempat duduk penumpang. Ragam ikan cantik beraneka warna tampak hilir-mudik di dasar laut.

Perahu melaju kenjang menuju pulau penyu.*

Mengintip keindahan panorama akuarium alami bawah laut.*

Sang pemandu kemudian memberi kami sepotong roti untuk diberikan pada ikan-ikan tersebut. Saat roti dilemparkan, kawanan ikan langsung menghampiri dan segera memakan roti yang kami lemparkan dengan lahap. Menakjubkan.

Belakangan baru saya tahu, ternyata cara memberi makan ikan seperti ini adalah hal yang sangat tak dianjurkan. Selain karena roti bukan merupakan makanan alaminya, ikan-ikan yang terbiasa “disuapi” juga dapat menjadi ketergantungan pada manusia sebagai sumber makanan. Mereka tak lagi memakan alga atau plankton. Dengan jumlah alga dan plankton yang berlebih, bukan tak mungkin jika terumbu karang akan mati karena ketidakseimbangan ekosistem. Ah, maafkan saya ya, ikan 😦

Setibanya di Pulau Penyu, saya mulai merasakan adanya keganjilan. Keganjilan pertama, terlihat jelas sejak ketika saya hendak melewati pintu masuk. Soalnya, di gapura pintu masuk tersebut tertera jelas tulisan, “Welcome to Turtle Farm, yang artinya: Selamat Datang di Peternakan Penyu.

Sebuah kalimat sambutan cukup absurd. Soalnya, selama ini saya belum pernah mendengar adanya orang ataupun institusi yang mampu beternak penyu secara eksitu. Penyu hanya bisa melakukan aktivitas kawin dan bereproduksi, bila ia berada dalam habitatnya di samudera yang luas.

Gapura pintu masuk di Pulau Penyu.*

Adapun keberadaan penyu yang biasa dipamerkan di beberapa kawasan konservasi, sejauh ini hanya merupakan hewan yang ditangkap dari alam liar. Hingga kini, manusia hanya dapat membantu proses penetasan telur penyu yang diambil dari alam. Tidak lebih dari itu. Oleh karenanya, saya berpendapat, sangat tidak tepat bila tempat ini disebut sebagai “penangkaran penyu”, apalagi dengan kalimat “peternakan penyu”.

Salah satu tour guide di Pulau Penyu, memamerkan penyu raksasa pada pengunjung.*

Tapi, ya sudah lah, mungkin cuma kesalahan teknis. Mungkin juga orang-orang pembuat gapura tersebut memang tidak menguasai Bahasa Inggris dengan baik dan benar. Disini, saya masih coba untuk tetap berpikiran positif.

Ketika melewati gapura tersebut, kami disambut oleh lima wanita paruh baya yang tidak lain merupakan penjaga Pulau Penyu. Dengan membayar sebesar Rp. 5.000,-/ per orang, kami dapat melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat koleksi satwa yang ada di kawasan ini, sambil didampingi oleh tour guide.

Rasa prihatin makin menjadi-jadi ketika saya melihat kawanan penyu dewasa yang tersimpan dalam kolam sempit berukuran tidak lebih dari sepuluh meter persegi. Tak hanya memiliki daya jelajah yang sangat terbatas, mereka pun harus rela terombang-ambing melayani tamu untuk berfoto.

Saya cukup menyayangkan keberadaan banyaknya penyu dewasa di sini. Karena dalam kolam sempit tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa penyu-penyu ini tidak lagi dapat melakukan aktivitas reproduksinya. Padahal, andai mereka tetap dibiarkan hidup di alam bebas, saya yakin mereka masih dapat menghasilkan sedikitnya 50 butir telur/ per tahun. Rasanya, ingin sekali saya membebaskan mereka dari penjara ini.

Meski tenar dengan sebutan Pulau Penyu (Turtle Island), ternyata ada cukup banyak satwa lain yang turut dipamerkan di tempat ini. Yang jelas sejauh pengamatan, kondisinya jauh lebih mengenaskan. Coba saja perhatikan beberapa gambar di bawah ini:

Burung elang bondol (Haliastur indus).*

Meski sepintas terlihat gagah, namun ketika saya memperhatikan dengan lebih detail, sayap burung ini nampak telah patah (atau mungkin dipatahkan) dan bulunya terlihat banyak yang rontok. Dengan kondisi demikian, saya yakin elang bondol ini tidak lagi dapat terbang normal seperti kawanan burung lainnya.

Iguana.*

Hewan tidak terawat yang saya perhatikan selanjutnya adalah iguana. Secara visual, tampak jelas bahwa reptil ini memiliki perawakan yang kurus. Selain itu, iguana ini pun menderita penyakit sariawan. Coba saja perhatikan bagian mulutnya yang bengkak dan terbuka. Sebagai perbandingannya, klik disini untuk melihat bentuk mulut dari iguana yang sehat dan terawat.

Ular sanca batik (Python reticulatus).*

Hewan lain yang juga sengaja saya dokumentasikan adalah ular sanca batik (Python reticulatus) bertubuh kurus, dengan mulutnya yang terbungkus plester. Sebagai pehobi reptil yang juga pernah memelihara ular jenis tersebut, saya merasa sangat miris. Sebodoh itukah mereka hingga harus mengikat mulut ular ini? Dasar pengecut.

Sedikit cerita diatas merupakan potret menyeramkan dari kehidupan satwa di Pulau Penyu, Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, Bali. Meski tertera jelas bahwa mereka telah mengantongi perizinan resmi dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) setempat, nyatanya kondisi satwa di tempat ini sangat tidak layak. Jauh dari prinsip kesejahteraan satwa (animal walfare), yang mestinya jadi acuan dasar bagi setiap lembaga konservasi eksitu.

Ya sudah lah, segitu dulu saja. Makin banyak ngetik, emosi jiwa ini rasanya makin menjadi-jadi.***

2 pemikiran pada “Eksploitasi Satwa di ‘Turtle Farm’ Tanjung Benoa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s