Ekspedisi Citorek: Kemilau Emas di Lubang Ampas


Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek

Perjalanan saya kali ini sebenarnya bukan wisata yang terencana. Semua mengalir cepat tanpa melalui planning yang cukup matang. Bagaimana tidak,  untuk terjun dalam penelitian ini, saya baru diberi kepastian kabar lima hari sebelum keberangkatan.

Meski sempat diliputi keraguan, rasanya tidak ada alasan juga buat menolak. Selain karena punya banyak waktu luang, mereka bilang, saya akan dikirim ke salah satu sisi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). “Lumayan lah, jalan-jalan dibayarin,” kata salah satu kawan saya berkomentar.

Menurut wikipedia, secara administratif, kawasan konservasi TNGHS masuk ke dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Bogor dan Sukabumi di Jawa Barat, serta Lebak di Propinsi Banten. Bersama partner saya, Lingga Sukatma Wiangga, kebetulan kami mendapat jatah untuk memantau aktivitas masyarakat di Desa Citorek Timur, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak.

Lokasi riset  ini terletak sangat jauh dari pusat kota. Belum banyak data yang bisa saya peroleh sebagai pijakan awal. Sebelum tiba di lokasi, saya sempat berkhayal akan menemukan sebuah perkampungan tradisional, pohon-pohon besar tegak berdiri, serta kawanan burung yang terbang bebas di angkasa.

Tapi dalam kenyataannya, prediksi ini tidak sepenuhnya tepat…

***

Bagi saya, para warga di Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek terlihat cukup unik. Meski sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani, banyak dari mereka yang memiliki rumah mewah, lengkap dengan perabotan rumah tangga modern (TV flat, lemari es, dll). Tidak lupa, mobil mewah pun banyak yang terparkir di halaman rumahnya.

warga citorek

Salah satu warga Desa Citorek menggunakan ‘iket’ di kepalanya.*
Foto: Albiansyah

Meski demikian, adat istiadat dan tradisi setempat masih tetap tampak mereka pegang teguh. Pria dewasa biasa menggunakan iket bermotif batik di kepalanya. Secara filosofis, iket memiliki makna sebagai lambang dari kesatuan. Artinya, mereka saling terikat satu sama lain oleh norma adat, budaya dan agama. Oleh karena itu, tidak heran bila benda ini cukup banyak digunakan warga di sekitar kasepuhan.

Tidak hanya itu. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mereka pun selalu patuh melaksanakan norma adat. Para petani hanya diperbolehkan memanen padi sekali dalam setahun. Enam bulan selanjutnya (pasca panen), ladang pertanian yang mereka miliki akan dialih fungsikan menjadi kolam pemeliharaan ikan. Warga sekitar percaya, bila ada orang yang coba untuk bertani lebih dari satu kali dalam setahun, maka padi yang mereka tanam tidak akan dapat tumbuh dengan sempurna.

Adat di Kasepuhan Citorek juga menegaskan pada warganya agar tidak boleh menjual nasi. Oleh karenanya, bila suatu saat Anda berkunjung ke tempat ini, jangan heran bila kita tidak akan menemui satupun warung nasi.

Menurut Pak Joni, salah satu petugas pengaman TNGHS yang memandu kami selama di lapangan, sebenarnya di desa ini ada juga warga yang menjajakan makanan. Akan tetapi, yang dijual hanya lauk pauknya saja. Sebagai gantinya, penjual makanan tersebut biasanya akan memberikan nasi secara gratis.

***

Mobil mewah milik warga desa.*

Mobil mewah milik warga desa.*
Foto: Lingga Sukatma W

Citorek sungguh tempat yang mempesona. Disana kita dapat menikmati panorama pemandangan indah dan udara yang sangat sejuk. Maklum, secara geografis, desa ini dikepung oleh empat pegunungan dan bukit, yaitu Gunung Pilar (timur), Gunung Keneng (utara), Gunung Nyungcung (barat), dan Pasir Soge (selatan).

Semula, saya dan Lingga sempat heran saat melihat apa yang terjadi di kampung ini. Sebagian besar warga bekerja sebagai petani dan memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah. Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit dari mereka memiliki rumah megah dan mobil mewah.

Pertemuan kami dengan Dadang Usup, jaro – sebutan bagi kepala desa – di Desa Citorek Timur menjawab semua rasa penasaran itu. Menurutnya, sebagian besar warga di kampung ini memang menggantungkan hidup pada tambang emas ilegal tradisional. “Kalau bukan dari emas, saya gak mungkin bisa membangun rumah ini,” katanya tanpa ragu.

Penghasilan yang mereka raup dari pertambangan tradisional pun jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan data yang kami himpun selama di lapangan, jika keberuntungan sedang berpihak padanya, mereka dapat mengantongi emas sebanyak lebih dari 1,5 kilogram.

Mewawancarai gurandil.*

Mewawancarai gurandil.*
Foto: Lingga Sukatma W

“Pantas saja mereka bisa kaya, beli ini-itu. Pendapatannya saja sebanyak itu,” bisik saya pada Lingga. Ia pun manggut-manggut tanda mengiyakan.

Beberapa puluh tahun lalu, kawasan ini memang sangat kaya dengan potensi emas. Pengelolanya adalah PT Aneka Tambang Tbk, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan sejak tahun 1968. Karena – mungkin – dinilai telah tidak produktif  dan memenuhi target penjualan, mereka akhirnya memutuskan untuk angkat kaki meninggalkan pertambangan ini pada tahun 2008 lalu.

Angin segar untuk warga sekitar pun menyambut. Sejak saat itu, mereka terus berlomba untuk berburu emas di lubang bekas penambangan. Kepada kami, salah satu warga Desa Citorek yang memiliki profesi sebagai gurandil (sebutan bagi penambang emas tradisional) mengatakan, “Kami hanya makan ampasnya saja. Emas besarnya kan sudah habis disedot oleh pemerintah,” katanya menegaskan.

Pernyataan gurandil itu terus terngiang dalam benak saya. Jika dari hasil ampas emas ini saja mereka telah bisa meraup untung ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, bagaimana dengan zaman dahulu?

***

Warga disini awalnya tidak terlalu terbuka ketika kami tanya masalah emas. Maklum, kegiatan ini mereka lakukan tanpa mengantongi izin resmi dari pemerintah. Salah satu pemandu kami selama melakukan penelitian di Desa Citorek, Anda Joni, bahkan sempat mewanti-wanti, “Warga disini agak tertutup kalau ditanya mengenai emas. Soalnya itu sensitif,” katanya.

Saya tidak merasa gentar. Sedikit basic bergelut di ranah jurnalistik dan beberapa kali pengalaman sukses melakukan liputan investigasi, membuat saya memiliki keyakinan akan dapat melalui tantangan ini.

Terlebih lagi, partner penelitian saya kali ini adalah Lingga Sukatma Wiangga, seorang (mantan) aktivis kampus yang punya pemikiran kritis. Keahliannya dalam menulis, disertai pengetahuannya yang luas mengenai aspek sosial-politik, membuat saya makin mantap.

Alhasil, tabir gelap mengenai pertambangan emas tradisional ini berhasil kami ungkap. Untuk menjaga keselamatan informan, gambar sengaja saya buramkan. Berikut adalah sedikit dokumentasinya:

Salah satu warga menunjukan lokasi gunung emas.

Salah satu warga menunjukan lokasi gunung emas.*
Foto: Lingga Sukatma W

Karung berisi batu emas diangkut ke dalam mobil.*

Karung berisi batu berkadar emas diangkut ke dalam mobil.*
Foto: Lingga Sukatma W

Menumbuk batu emas.*

Menumbuk batu yang berkadar emas.*
Foto: Lingga Sukatma W

Gulundung, salah satu alat pengolahan batu emas.*

Gulundung, salah satu alat pengolahan batu emas.*
Foto: Lingga Sukatma W

Kami diajak melihat lokasi rendaman emas di salah satu kawasan tersembunyi sekitar Desa Citorek.*

Diajak melihat lokasi rendaman emas di salah satu kawasan tersembunyi sekitar Desa Citorek.*
Foto: Albiansyah

Tapi sayang, karena terbatasnya waktu riset, kami tidak sempat  mengikuti aktivitas para gurandil ini hingga ke lobang tempat mereka mengambil emas. Soalnya, jarak paling dekat menuju lobang ini cukup jauh. “Butuh waktu sekitar enam jam dengan berjalan kaki,” kata salah satu gurandil.

***

Emas merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan. Artinya, suatu saat ia bakal habis bila diambil terus menerus. Hati kecil saya sebenarnya miris. Sampai kapan mereka akan terus menggali lubang untuk melakukan kegiatan pertambangan? Haruskah menunggu sampai gunung-gunung rata dengan tanah di negeri ini?

Namun, warga sekitar Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek memiliki anggapan lain. Mereka percaya bahwa emas adalah barang gaib, yang dapat datang secara tiba-tiba atas kehendak yang Maha Kuasa.

Terlepas dari semua itu, secara pribadi, sementara ini saya lebih rela bila melihat pertambangan ini dikelola oleh warga sekitar ketimbang oleh pihak asing. Bukankah dalam Ayat 3, Pasal 3 Undang-undang Dasar 1945 secara jelas telah dinyatakan bahwa:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Pada suatu malam, perbincangan dengan Lingga, menyadarkan saya bahwa pemerintah Indonesia begitu bodoh dalam mengelola aset negara ini. Di Papua misalnya. Pertambangan emas disana malah dikuasai oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, sebuah perusahaan tambang internasional milik Amerika Serikat yang telah lama bersarang di Negeri Pertiwi ini.

Sebagai pemegang saham terbesar, perusahaan asing itu tentu kebagian jatah untuk ‘mengenyot’ keuntungan paling banyak. Sedangkan pemerintah Indonesia sendiri, diketahui hanya dapat menikmati keuntungan 10% dari ladang emas di Papua itu. Padahal bila mengacu pada UUD 45 diatas, tidak ada satupun kata yang mempersilakan pihak asing untuk mengambil kekayaan bangsa dan menyisakan 10% untuk Indonesia sendiri. Ironis, bukan?

Saya jadi teringat pernyataan Amien Rais dalam buku, “Ada Udang Dibalik Busang” terbitan Mizan Pustaka pada tahun 1997 lalu. Dalam buku itu, Amien mengatakan bahwa, “Selama seperempat abad, kekayaan bangsa yang sudah digotong keluar negeri kurang lebih 1.620 ton emas, 3.240 ton perak, dan 162 juta ton tembaga. Sekian ton emas itu, kalau dirupiahkan dengan harga sekarang, bernilai lebih dari Rp.400 triliun. Belum nilai perak dan tembaganya yang tentu lebih besar lagi.”

Keresahan Amien belum cukup sampai disana. Soalnya, saat itu pemerintah telah kadung menyetujui perpanjangan kontrak dengan pihak asing ini.  “Tahun 1991 Freeport sudah mengantongi izin penambangan lagi untuk masa 30 tahun ditambah dua kali sepuluh tahun dengan wilayah eksploitasi yang lebih luas lagi. Masya Allah,” tulis Amien.

Kembali lagi ke cerita tentang para penambang emas tradisional di Citorek. Setelah berbincang dengan Lingga, kami sepakat bahwa pemerintah mesti membuka jalan mediasi dengan para penambang tradisional.

Pada dasarnya, Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek merupakan orang-orang yang ramah. Mereka memiliki kearifan lokal yang unik dalam menjaga alam dengan cara mereka sendiri.

“Mereka memerlukan bimbingan pemerintah untuk mengelola alamnya. Mereka bukan manusia-manusia bebal yang sulit diajak bicara. Yang mereka butuhkan hanya pengakuan, pengayoman, dengan komunikasi yang baik dengan intensitas yang rutin dari pemerintah,” tulis Lingga dalam penutup makalahnya. Saya setuju!***

Catatan Penulis:

Mengucapkan banyak terima kasih pada Dandi Supriadi, S.Sos., M.A. (SUT) dan Dr. Herlina Agustin, S.Sos., MT, kedua dosen orang tua saya di Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjadjaran (Unpad) yang telah mengajak serta dalam proyek penelitian ini.

8 pemikiran pada “Ekspedisi Citorek: Kemilau Emas di Lubang Ampas

  1. kami sekolah dari ampas tambang bekas antam, tp mash bnyak lg yg lain dr pemuda kami yg tidak bisa mengenyam pendidikan, kami selalu mengharapkan pemerintah daerah mampu memberi solusi utk kami.

    Suka

    • Dear Mas Iwank,,

      Semoga para petinggi negeri ini bisa lebih peka dalam melihat realitas yang terjadi di sekitar area bekas penambangan emas, khususnya yang sempat dikelola oleh PT Aneka Tambang Tbk… Semoga ada solusi untuk semua persoalan ini 🙂

      .salam.

      Suka

    • Waalaikumussalam.
      Ada satu orang sesepuh di wewengkon adat Kasepuhan Citorek, tapi saya lupa namanya.

      Tapi kalau berminat kesana, tinggal tanya saja ke warga sekitar mas. Nanti pasti bakal diantar menuju rumahnya, Mereka sangat ramah ke pendatang kok… Selamat berkunjung 🙂

      Suka

  2. Ada yang bisa menjual ampas tambang emas ke saya? Sms ke 087882382966 akan saya balas. Atau ada yang bisa menhunjukkan rute perjalanan ke lokasi bila saya berangkat dari Jakarta. Terima kasih.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Albiansyah Batalkan balasan