Pagi itu, Kamis (18/10/12), sebuah pemberitaan di Harian Umum Pikiran Rakyat cukup membuat saya terkejut. Koran lokal skala Jawa Barat tersebut mengabarkan tentang ditangkapnya satu ekor macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di perumahan warga di Desa Kalapa Gunung, Kecamatan Keramatmulya, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Macan tutul yang kabarnya memiliki jenis kelamin jantan ini tertangkap hidup-hidup di halaman belakang seorang warga bernama Hj. Kiah (67), setelah sebelumnya dilumpuhkan menggunakan obat bius. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat akhirnya mengangkut macan mengenaskan ini ke Taman Satwa Cikembulan, di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Belum sampai satu bulan sejak peristiwa itu terjadi, hal yang hampir serupa kembali terulang. Hari Kamis (8/11/12) kemarin, satu ekor macan tutul (lagi-lagi) dikabarkan tertangkap oleh sekelompok warga. Namun kali ini lokasinya di Kampung Kemang, Desa Kemang, Kec. Bojongpicung, Kab. Cianjur, Jawa Barat.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Cianjur, Isis Iskandar, menduga bahwa ada dua kemungkinan macan tutul ini turun dan meresahkan kampung kemang. Pertama, jumlah makanan mereka sudah berkurang akibat habitatnya telah rusak. Kedua, karena tersingkir dari kelompoknya.
Argumen pertama – masalah kerusakan habitat – menurut saya lebih masuk akal, ketimbang argumen yang kedua. Soalnya, macan tutul merupakan hewan soliter yang memiliki batas teritorial masing-masing, terkecuali jika musim kawin. Mereka bukanlah hewan yang diketahui biasa hidup secara berkelompok seperti singa (Panthera leo) di Afrika.
***
Hujan gerimis turun menyambut kedatangan kami di kantor Dinas Kehutanan yang terletak di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Satu orang petugas yang saat itu menyambut kedatangan kami, langsung mempersilakan masuk.
Meski bukan hari libur, namun ruangan kantor itu kosong. Sama sekali tidak terlihat adanya aktivitas orang yang sedang bekerja. “Saya yang kebagian piket hari ini,” ucap petugas itu.
Ada banyak bingkai foto dan pamflet yang tertata rapi menghiasi ruangan kantor berukuran sekitar 15 meter persegi ini. Mulai dari pamflet seruan untuk menyelamatkan hutan dan satwa liar, hingga sekedar foto dokumentasi hasil bidikan kamera trap di sepanjang area Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS).
Dari sekian banyak gambar yang ada di ruangan itu, salah satu gambar yang paling menarik perhatian saya adalah foto seekor macan kumbang. Soalnya, sudah sejak lama saya tertarik pada sosok kucing jumbo satu ini 😀
“Foto itu diambil kapan, Pak?” Tanya saya sambil menunjuk bingkai yang tersimpan di pojok ruangan.
“Sudah agak lama, kalau nggak salah sekitar setahun yang lalu,” jawabnya.
Sebagai tambahan informasi, meski memiliki warna rambut yang berbeda (hitam), macan kumbang diyakini masih satu spesies dengan macan tutul. Warna hitam terjadi akibat sel resesif yang dimiliki hewan ini. Namun menurut alamendah, rambut macan kumbang yang berubah menjadi hitam tersebut disebabkan oleh pigmen melanistik sebagai bentuk adaptasi atas habitat hutan yang lebat dan gelap.
Hewan ini merupakan satu-satunya spesies kucing besar yang tersisa di Pulau Jawa, setelah kerabatnya, harimau jawa (Panthera tigris sondaica), dinyatakan punah oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) sejak tahun 1980-an yang lalu.
***

Anda Joni menunjukan foto macan tutul hasil bidikan kamera trap bulan Juli 2012.*
Foto: Lingga Sukatma W
Tragedi malam itu tentu tidak akan terlupakan oleh Johan Hambali dan Anda Joni, dua petugas pengaman hutan di TNGHS. Sebagai aparat yang bertugas untuk menangani lahan konservasi seluas 10.572 ha ini, mereka tentu kerap diterjunkan ke dalam hutan, baik untuk pengamanan maupun sekedar melakukan pengamatan.
Kepada saya, mereka banyak bercerita tentang pengalaman selama menjadi petugas lapangan. Dengan bangga, mereka juga banyak memperlihatkan hasil dokumentasi foto yang diabadikan melalui ponselnya. Saya banyak belajar dari pengalaman mereka berdua.
Johan dan Joni bercerita, pada suatu hari, mereka mendapat tugas untuk melakukan perjalan ground check. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai flora dan fauna. Diharapkan, data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan khususnya di bidang kehutanan. Selain Johan dan Joni, beberapa petugas TNGHS lain yang juga ikut dalam kegiatan ini adalah Sutisna, Nurfaidzin dan Dede Agung.
Saat itu, mereka harus menyusuri rute hutan yang berada di sepanjang kawasan Ciburiling dan Cimadur selama tiga hari tiga malam. Pada hari pertama, Pak Joni – sapaan saya kepadanya – mengatakan, ia terpaksa menghentikan perjalanan karena hari terasa semakin larut.
Bersama seluruh jajarannya, akhirnya mereka pun sepakat untuk menghentikan perjalanan dan mendirikan tenda di kawasan Blok Cimadur. “Karena sudah tidak mungkin dilanjutkan, akhirnya terpaksa menghentikan perjalanan. Padahal saya tahu tempat ini adalah area perlintasan hewan,” katanya.
Api unggun menyala, tenda pun akhirnya tegak berdiri. Setelah beristirahat sejenak untuk melepas letih, sekitar pukul 20.30, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara hewan menggeram dari balik rimbunnya pepohonan.
Spontan, mereka langsung merapatkan barisan untuk menjaga diri dari serangan hewan buas itu dengan posisi tubuh saling membelakangi. Masing-masing orang telah mempersiapkan diri dengan golok dan senjata api yang kebetulan dibawanya saat itu.
Semakin lama, riuh suara tersebut terdengar makin jelas. Mereka pun menyimpulkan bahwa hewan yang ada di balik pepohonan itu merupakan macan tutul (Panthera pardus). Soalnya, kawasan tempat mereka berkemah itu adalah habitat ideal bagi babi hutan, maka tidak mengherankan jika macan tutul kerap lalu lalang di kawasan ini. “Kalau dari suaranya, saya yakin ada tiga ekor. Karena suaranya terdengar ada di tiga arah,” ujar Pak Joni menjelaskan.
Namun untunglah, hingga saat mentari pagi datang memancarkan sinarnya, akhirnya mereka dapat kembali melanjutkan perjalanan tanpa perlu bertarung dengan macan terlebih dahulu. Hanya saja, kehadiran suara hewan ini sukses membuat mereka tidak dapat beristirahat malam itu.
***
Sudah bukan rahasia umum bila negara kita dikatakan memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Hutan Indonesia yang luasnya ditaksir mencapai 133.300.543,98 ha ini, menjadi habitat yang ideal bagi 515 jenis mamalia dan 1539 jenis burung (Sumber: ProFauna Indonesia).
Namun sayang. Meski kekayaan alam di negeri kita ini dikenal begitu melimpah, pada kenyataannya, hingga saat ini tindak eksploitasi terhadap sumber daya alam masih belum bisa dikendalikan. Sebuah data yang diperoleh dari Sekertariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), menunjukan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,8 – 2,8 juta hektar per tahun.
Ini artinya, hutan yang menjadi ‘rumah’ bagi para satwa pun makin menyempit dan terkikis dari masa ke masa. Oleh karena itu, tidak heran bila belakangan ini banyak ditemukan macan tutul yang keluar dari kawasan hutan dan memasuki perumahan warga untuk mencuri memangsa hewan ternak.
Sebagai satu-satunya spesies kucing besar yang tersisa Pulau Jawa, sudah seharusnya kelestarian macan tutul menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Semoga saja hewan ini masih dapat tetap bertahan ditengah makin terkikisnya habitat mereka saat ini.***