Belakangan, kita mungkin sudah tidak asing lagi mendengar keluhan tentang kelangkaan air bersih di kota-kota besar. Bagaimana tidak, seiring dengan makin padatnya populasi penduduk di kawasan perkotaan, otomatis kuantitas kebutuhan terhadap sumber air bersih pun meningkat.
Namun, apakah Anda juga tahu bahwa kini kelangkaan air bersih pun mulai mengancam kawasaan desa yang lokasinya berdekatan dengan pegunungan? (*Padahal ‘konon katanya’, pegunungan kan merupakan sumber mata air terbaik, hehe!) Nah, kalau belum tahu, mari simak tulisan dalam blog saya kali ini.
Ada dua alasan sederhana kenapa saya memposting tema tentang “air” dalam postingan ini. Pertama, untuk mengingatkan kita bahwa air merupakan salah satu elemen penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Salah satu artikel di DetikHealth, mengatakan bahwa manusia bisa bertahan hidup tanpa makanan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, namun bila tanpa air manusia hanya mampu bertahan selama satu hari.
Kedua, menjaga kelestarian air adalah tanggung jawab kita bersama. Bukan saatnya lagi ngoceh menyalahkan pemerintah karena telah lalai dalam melakukan pengawasan, bla… bla… bla…! Sudah saatnya kita bergerak, meski dengan langkah sekecil apapun, demi kelangsungan hidup anak-cucu kita kelak.
***
Semilir angin sejuk berembus menyambut hari pertama kedatangan saya di salah satu sisi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Hari itu, Rabu (28/11/2012) lalu, saya memang sengaja bangun lebih awal agar dapat melakukan aktivitas secepat mungkin.
Bersama tiga orang kawan saya, yaitu Lingga Sukatma Wiangga, Noveri Maulana dan Vanya Chairunisa, saat itu kami memang ditugaskan ke tempat ini sebagai tim surveyor untuk mengobservasi masalah sosial-ekonomi di Kabupaten Lebak, Banten. Untuk mempermudah pekerjaan, saat itu tim dibagi dalam dua kelompok. Noveri dan Vanya mengobservasi wilayah Desa Majasari, Kecamatan Sobang, sementara wilayah observasi saya dan Lingga terletak di Desa Citorek, Kecamatan Cibeber.
Bertugas di desa ini ibarat berwisata. Pemandangan yang elok menghiasi setiap arah kemana mata saya memandang. Gunung-gunung menjulang tinggi dan vegetasi di kawasan hutan pun tampak masih terjaga dengan baik. Tidak heran bila warga disini mengaku tidak pernah kekurangan air, meski pada musim kemarau panjang sekalipun.
Bicara masalah air, ada dua aliran sungai yang melintasi kawasan Desa Citorek ini, yaitu Sungai Cimadur dan Sungai Citorek. Bagi masyarakat sekitar, kedua aliran sungai ini memiliki arti yang cukup besar. Selain sebagai saluran irigasi bagi sawah, air sungai ini pun biasa mereka gunakan untuk mandi, mencuci, buang air, bahkan sumber air minum.

Pemanfaatan air sungai oleh warga Desa Citorek.*
Foto: Lingga SW
Nama Desa Citorek itu sendiri diambil dari dua kata dalam Bahasa Sunda, yaitu cai (yang berarti air) dan torek (yang artinya tidak mendengar/tuli). Alkisah, meski aliran Sungai Citorek selalu mengalir deras, namun suaranya tidak dapat terdengar oleh telinga kita. Itulah cerita turun temurun yang dipercaya menjadi asal mula terbentuknya nama Desa Citorek.
***
Sudah bukan menjadi rahasia umum bila sebagian besar warga di kampung ini menggantungkan hidup dari hasil pertambangan emas ilegal. Seperti yang pernah saya paparkan dalam postingan sebelumnya, karena kegiatan ini dilakukan tanpa mengantongi perizinan resmi, maka seluruh proses – mulai dari pengambilan material mentah hingga pengolahan emas – dilakukan secara otodidak. Tidak ada pengawasan yang ketat, apalagi pembinaan yang dilakukan kepada mereka.
Di desa ini, saya dan Lingga sempat berkenalan dengan dua orang gurandil (sebutan bagi penambang emas ilegal). Tidak hanya itu, setelah melakukan proses pendekatan, kami bahkan diajak ke salah satu tempat rendaman.
Rendaman merupakan salah satu tempat yang biasa digunakan sebagai pengolahan bahan baku emas mentah. Lokasinya cukup tersembunyi dan jauh dari pemukiman warga. Untuk cara pengolahannya sendiri, mereka biasa menggunakan zat kimia bernama merkuri dan sianida.
Kepada kami, kedua gurandil itu mengakui bahwa zat kimia yang digunakan untuk mengolah emas tersebut memang mengandung material yang berbahaya untuk kesehatan. Oleh karenanya, mereka selalu menggunakan sarung tangan dan masker saat proses produksi tengah berlangsung.
Namun sayang, karena tidak dibekali oleh ilmu pengetahuan tentang pertambangan modern, para gurandil hanya menggunakan logika sederhana dalam melakukan pengolahan emas. Mereka menganggap, karena lokasi pengolahan emas ini terletak berjauhan dengan wilayah pemukiman, maka tidak ada efek yang akan ditimbulkan dari zat kimia ini bagi kesehatan warga. Dalam kenyataannya, persepsi tersebut keliru!
***
Penelusuran masalah kesehatan masyarakat membawa kami untuk bertemu dengan Widiastri, seorang bidan yang telah mengabdikan diri di Desa Citorek Timur selama 17 tahun. Meski pada hakikatnya bidan hanya bertugas untuk menangani orang yang melahirkan, namun di desa ini, bidan nyatanya memiliki tugas ganda sebagai dokter. Maklum, fasilitas kesehatan di daerah ini masih terbilang sangat minim.
Rasa kagum saya muncul ketika mendengar penuturan Widiastri. Tinggal terpisah dengan keluarga karena ikatan dinas, tidak menyurutkan niat mulianya untuk mengabdi pada desa ini. Di mata saya, ia merupakan sosok wanita tangguh yang memiliki kepedulian besar pada bidang kesehatan.
Bagaimana tidak, selama belasan tahun ini, ia selalu berupaya mengubah paradigma masyarakat dalam menilai pola hidup sehat. Awal bertugas di desa ini, ia mengaku sulit mendapat kepercayaan dari warga atas sistem pengobatan modern yang diusungnya.
Namun berkat kesabaran dan kegigihannya, kini upaya tersebut mulai tampak membuahkan hasil. Jika dahulu masyarakat sekitar lebih mengadalkan fasilitas dukun untuk berobat, kini 70% warga Desa Citorek lebih mempercayai sistem pengobatan modern.
Terlepas dari semua itu, kepada kami, Widiastri mengungkapkan tentang kegelisahannya dalam memandang potensi penyakit yang ditimbulkan akibat pertambangan emas ilegal. Ada banyak penambang yang mengeluh menderita penyakit kulit pada Widiastri. Ia menduga, penyakit tersebut timbul akibat zat merkuri yang biasa mereka gunakan dalam mengolah emas. Tidak hanya itu, ia juga berasumsi, masih ada zat kimia lain yang lebih berbahaya, yaitu sianida.
Widiastari pun selalu memiliki kecurigaan bahwa para penambang tidak memiliki pengelolaan limbah yang baik. Karena hal ini, sampai-sampai Widiastari tidak berani mengkonsumsi air tanah dari Desa Citorek. Ia memiliki keyakinan bahwa air yang ada di desa ini telah terkontaminasi berbagai zat kimia berbahaya. Sebagai gantinya, sehari-hari ia biasa membeli air minum dalam kemasan.
Meski demikian, Widiastari tidak terlalu berani mengangkat masalah kesehatan yang timbul dari pengolahan emas. Baginya, isu ini terlalu sensitif. Ia tidak berani mewacanakan isu ini sebagai program kesehatan.

Piagam penghargaan pernah disematkan pada Widiastri atas kepeduliannya pada bidang kesehatan.*
Foto: Albiansyah
***
Sadar tidak memiliki background pendidikan di ilmu sains, saya sempat merasa bingung dengan istilah sianida. “Zat kimia macam apa itu? Apa efeknya untuk kesehatan?” Tanya saya dalam hati.
Ditengah kebingungan, tiba-tiba saya teringat pada Dewi Isnaini Fadilah, seorang gadis asal Sumedang Selatan yang kini tengah mengadu nasib di Medan. Sebagai alumnus dari Jurusan Kimia, saya pikir, istilah macam ini mungkin telah akrab dengannya. Melalui direct messages di twitter, saya langsung mengirimkan pesan singkat:
“Dew, mau tanya.. tau zat kimia yg namanya sianida gak?? itu biasanya dipake buat apaan ya?”
Tidak lama berselang, jawaban singkat pun akhirnya datang.
“Tau.. Itu teh anion, lambangna CN-, itu biasanya dipake gas beracun perang (dlm bntuk KCN, atau nama keren “sarin”). Ya, racun pisan lah.”
Dari pijakan awal ini, saya langsung terpancing untuk mengetahui lebih banyak tentang kandungan berbahaya dalam zat kimia ini. Melalui google, pencarian saya akhirnya nyasar pada sebuah paper yang dibuat oleh mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan judul “POTENSI LIMFITOM (LIMBAH FILTRAT TOKSIK MUCUNA) SEBAGAI INSEKTISIDA DAN PUPUK NABATI”.
Meski tidak secara khusus mengimplisitkan tentang efek sianida, namun salah satu bagian dalam paper tersebut sudah cukup menjawab semua pertanyaan saya. Berikut adalah efek sianida yang dijelaskan dalam paper itu:
“Kandungan CN- mampu mengambil alih fungsi oksigen dalam penangkapan ion H+. Selain merusak sistem pernapasan, CN- juga menjadi penyebab tidak maksimalnya kerja enzim dalam proses anabolisme dan berperan sebagai inhibitor kompetitif. Mula-mula CN- menempel pada sisi aktif enzim dan mengubah struktur enzim, akibatnya substrat tidak dapat bergabung sehingga metabolisme makhluk hidup terganggu dan akhirnya akan berujung pada kematian.”
***
Kegiatan pertambangan emas memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, emas mendorong tumbuhnya laju perekonomian warga secara lebih cepat. Di sisi lain, ancaman kesehatan yang timbul dari kegiatan ini pun bukan perkara sepele.
Kendati demikian, bukan menjadi hak saya untuk memberi justifikasi “salah” atau “benar” pada kegiatan yang mereka lakukan. Yang saya tahu, kini ribuan orang telah menggantungkan hidup dari keberadaan air di kawasan ini.
Selain bergantung pada aliran sungai yang melintasi Desa Citorek, untuk memenuhi kebutuhan air minum, ada pula warga yang memanfaatkan sumur galian dan air tanah. Sumur-sumur itu masih ada yang menggunakan timba dengan katrol sederhana. Namun tidak sedikit pula warga yang menyedot air sumur menggunakan mesin.
Kesadaran akan pentingnya pemanfaatan air bersih perlu diaplikasikan mulai saat ini. Namun, tampaknya bukan solusi yang bijak bila kita mengimbau pada para warga untuk meninggalkan tradisi pemanfaatan air dari lingkungan sekitar Desa Citorek. Karena bagaimanapun, metode pemanfaatan alam telah diwariskan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang mereka.
Membangun kesadaran akan pentingnya hidup sehat memang tidak akan semudah memutarbalikan telapak tangan. Perilaku sadar kesehatan dapat dibangun melalui berbagai upaya persuasif, seperti cara Widiastri yang telah saya ceritakan di bagian sebelumnya. Meski harus dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama, lambat laun, hal tersebut pasti dapat terwujud.***