Belasan, bahkan mungkin, puluhan surat lamaran pekerjaan sudah saya layangkan ke berbagai perusahaan. Sebagian besar saya kirim lewat email, namun ada juga yang dikirim lewat jasa kantor pos. Bahkan kalau perusahaan yang saya incar tersebut berada di Kota Bandung, tidak jarang saya sengaja mendatangi alamatnya untuk memberikan berkas lamaran secara langsung (biar lebih meyakinkan maksudnya, hehe!).
Hampir semua perusahaan yang saya lamar memiliki notabene sebagai institusi media massa. Soalnya, sampai sekarang saya belum punya ketertarikan – mungkin juga belum percaya diri – untuk melamar pekerjaan di luar bidang jurnalistik.
Dari sekian banyak perusahaan yang saya “pinang” itu, hingga kini, baru ada sekitar 7 institusi yang memberi respon. Maklum, mungkin email lamaran pekerjaan yang mereka terima jumlahnya terlalu berjibun. Hingga gak menutup kemungkinan juga kalau lamaran yang saya kirim itu luput dari perhatian mereka.
Melalui perbincangan singkat via telepon, Human Resource Department (HRD) dari perusahaan bersangkutan, biasanya kemudian memanggil saya untuk melakukan serangkaian seleksi. Mulai dari wawancara HRD, test kompetensi dan yang pasti: psikotes.
Sejujurnya, kata yang terakhir saya sebut (yang di-bold) di atas, merupakan tahap seleksi yang paling tidak saya suka. Disana, saya biasanya disuruh untuk mengerjakan soal yang berderet sangaaatt banyak, terkadang disuruh menggambar, ada juga yang menyuruh ngotak-atik gambar balok terbalik-balik, ada lagi yang ngasih pertanyaan yang isinya serupa tapi tak sama. Hufftt!
Saya gak banyak tahu tentang apa fungsi dari rangkaian seleksi ini. Yang jelas, menurut saya, mengerjakan soal psikotes merupakan satu-satunya tahap seleksi yang paling tidak punya korelasi langsung dengan mutu atau kualitas liputan seseorang.
Salah satu sahabat saya yang punya background pendidikan formal di ilmu psikologi pernah bilang, dalam konteks seleksi pekerjaan, psikotes memiliki fungsi untuk menjaring orang dari sekian banyak calon yang melamar pekerjaan.
“Soalnya, yang ngelamar pekerjaan, apalagi ke perusahaan besar kan pasti jumlahnya banyak,” kata perempuan yang usianya hanya berjarak setahun dibawah saya itu. “Nah, psikotes itu buat mempermudah HRD memilih yang terbaik dari sekian banyak calon, sesuai kriteria tugas yang harus kamu kerjakan nanti.”
“Kalau gitu, apa emang aku bego kalau gak lolos psikotes?” Saya lanjut bertanya.
Ia tertawa lepas sejenak. “Bukan gitu,” katanya. “Mungkin emang kamu belum memenuhi kriteria, atau gak cocok buat menjalani pekerjaan yang dimaksud.”
Saya sebenarnya masih penasaran ingin mendebat. Tapi karena satu dan lain hal, obrolan ringan hari itu terpaksa harus saya akhiri. Simpulannya, saya tetap kekeuh pada pendirian saya bahwa psikotes gak bisa dijadikan satu-satunya acuan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam bekerja.
Buktinya? Saat mahasiswa dulu, saya pernah bekerja sebagai wartawan (kontributor) sekitar satu tahun. Semua pekerjaan yang dilimpahkan pada saya pun rasanya selalu beres, gak pernah ada yang tertunda atau tidak terselesaikan. Bahkan beberapa kali juga redaktur menyatakan puas pada liputan yang saya hasilkan.
Yang bikin saya gereget, kenapa juga psikotes itu gak diganti oleh test turun ke lapangan buat liputan? Atau melalui seleksi tulisan, misalnya? Bukannya melalui cara ini bisa langsung kelihatan skill atau kemampuan si pelamar?
Ah, sudah lah. Lagi pula, masa iya pelamar kerja bisa nego tentang cara rekrut pegawai ke HRD. Hahaha!
***
Bicara masalah seleksi calon wartawan, saya jadi ingat buku ‘A9ama’ Saya Adalah Jurnalisme yang ditulis oleh Andreas Harsono. Dalam buku itu, ia mengatakan bahwa mungkin sudah saatnya cara rekrutmen diganti.
Menurutnya, kebanyakan media besar di Jakarta maupun kota-kota lain, melakukan seleksi wartawan lewat test psikologi dan melibatkan orang-orang personalia (lebih dahulu), sebelum segelintir yang lolos diwawancarai redaktur. Menariknya, proses lamaran seringkali tanpa melibatkan tulisan si pelamar. Lebih sering malah tes psikologi.
Masih dalam buku tersebut, dikatakan pula bahwa media bermutu macam The New York Times atau The New Yorker belum pernah pakai test psikologi. Wartawan harus dites lewat tulisannya.
Hal itu diketahui Andreas setelah ia bertemu dengan Wendel “Sonny” Rawls Jr., mantan wartawan dan redaktur The Phila Delphia Inquirer, The New York Times serta The Atlanta Journal-Constitution. Sonny terkenal bertangan dingin dalam mencari dan mendidik wartawan muda.
Sonny menyebut nama-nama wartawan yang pernah diwawancarainya, bagaimana mereka membangun karier, mula-mula di tempat Sonny namun pindah ke media lain. Dia juga tahu bagaimana orang macam James Newton tak menarik buat redaktur lain – bahkan mulanya ditolak The Los Angeles Times – tapi tidak bagi Sonny.
“James is not a selling person. Dia tidak bisa menawarkan diri dengan baik,” kata Sonny.
Akhirnya dikisahkan, Newton lantas menjadi redaktur The Los Angeles Times (perusahaan yang sebelumnya pernah menolaknya). James Newton diperkirakan bakal jadi “James Reston” – kolumnis legendaris di Woshington D.C. pada zaman Perang Dunia II.
Nah, kalau media massa besar sekelas itu saja tidak menggunakan psikotes dalam seleksi wartawan, mengapa di Indonesia hal itu masih dijadikan prioritas utama? Lagi-lagi, sudahlah. Berharap suatu hari nanti dapat bertemu dengan perusahaan yang gak melibatkan proses psikotes untuk calon wartawannya.***
=====
Ditulis sambil meratapi nasib dalam kesunyian malam.
Bandung, 7 Januari 2013.
Psikotes gak bisa dijadikan satu-satunya acuan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam bekerja. Memang. Tapi sering jadi “kambing hitam” atas gagalnya calon pekerja. Btw, saya setuju dengan anda soal tes turun lapangan.
Sedikit tulisan saya mungkin bisa membantu http://mayadewi.wordpress.com/2013/03/06/psikotes-apa-itu/
SukaSuka
Untuk Mba Mayadewi,,
Sebelumnya, terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar.
Entah dengan bidang pekerjaan lain, di tulisan ini, saya hanya membandingkan antara cara rekrutmen jurnalis di media massa asing & media massa Indonesia. Dan pada kenyataannya, media tersebut tetap jadi berbobot, walaupun belum pernah pakai test psikologi dalam melakukan seleksi wartawan.
Btw, terima kasih juga untuk link diatas, sangat bermanfaat untuk saya yang masih awam masalah psikotes 😉
Salam kenal.
SukaSuka