Sejak pertama kali produk ini booming & jadi pasaran di Indonesia (kalau gak salah sekitar tahun 2008-an), saya bukan termasuk orang yang ngebet ingin punya BlackBerry. Lebih jauh lagi, mungkin saya termasuk salah satu orang yang agak benci melihat gadget ini.
Alasannya simple. Saat banyak orang mulai punya BlackBerry, saat itu juga,makin banyak teman saya yang nampak menjadi autis. Kalau diajak ngobrol jadi gak pernah fokus, kadang ketawa sendiri, kadang ngedadak jadi bad mood, selalu penasaran liatin BlackBerry, dan lain-lain. Mengutip perkataan salah satu teman saya, “Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.” Hahaha!
Tekad saya untuk nggak menggunakan BlackBerry makin bulat saat sering mendengar keluhan, “Aduh, delay nih!”
Seiring berjalannya waktu, pengguna produk ini makin banyak. Bukan cuma orang-orang dari kalangan menengah keatas, bahkan tukang sayur langganan ibu saya pun sudah mulai terlihat menenteng BlackBerry. Saya sama sekali masih belum tertarik.
Yang jelas, alasan saya nggak pake BlackBerry, gak ada hubungannya dengan masalah finansial. Saat lagi punya duit, saya jauh lebih tertarik untuk melengkapi komoditas hobi. Bahkan saat ditawari secara langsung sama nyokap, dengan tegas saya menolak.
Tapi belakangan, tampaknya saya terpaksa mesti menelan ludah sendiri. Karena desakan kantor baru (dengan alasan untuk mempermudah akses komunikasi), mereka selalu menyarankan saya pake alat ini. Belum lagi saat bertemu narasumber atau wartawan lain di lapangan, yang kebanyakan ditanya pasti, “Pin lo berapa?”
Terakhir, gara-gara media tempat saya kerja saat ini merupakan stasiun televisi yang (tentu) punya tayangan berita harian. Setiap hari, saya dituntut untuk mengupdate berita-berita terbaru. Lagi-lagi, disini BlackBerry juga memegang peran yang cukup penting untuk pertukaran informasi. “Brengsek,” pikir saya.
Dan akhirnya . . . dengan terpaksa, saya harus menyerah juga pada kondisi. Hahahaa! Sekian.***