Sejak memutuskan untuk hijrah dari Kota Kembang pada pertengahan Februari 2013 silam, bulan ini merupakan momen pertama bagi saya menjalani aktivitas ramadhan seorang diri. Tidak ada lagi sosok seperti mama yang rela menyediakan santap sahur, apalagi sekedar takjil untuk berbuka puasa.
Ngomong-ngomong masalah menjalankan puasa, perlu diakui, godaan untuk batal di Jakarta ini memang terbilang lebih berat. Apalagi buat manusia rantau dari Kota Bandung seperti saya. Setelah direnungi secara menyeluruh, ternyata, ada dua hal yang membuat saya merasa cukup berat menjalankan ibadah puasa di ibu kota ini, yaitu faktor iklim dan kultur.
Yang pertama adalah masalah iklim. Sudah jelas, karena terbiasa hidup di tempat yang memiliki temperatur cukup dingin, udara di Jakarta terasa amat panas bagi saya. Akibatnya, ion tubuh mulai berkurang, dehidrasi, dan ujungnya jadi kehausan.
Kedua, masalah kultur. Di kampung halaman saya, meski banyak warung makanan yang tetap melayani pembeli pada siang hari, mereka biasa menutup warungnya dengan tirai penyekat.
Tapi untuk beberapa daerah di Jakarta, tampaknya semua berjalan dengan datar. Disini, cukup mudah untuk dapat menemukan warung makanan yang buka tanpa tirai, lengkap dengan para pembeli yang tengah bersantai menikmati santap siangnya.
Ternyata benar kata orang, “Toleransi beragama diantara masyarakat sudah mulai luntur.”
Saat saya tengah melakukan liputan ke kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya. Meski bulan ramadhan, di tempat tersebut, warga sekitar tanpa ragu berjalan-jalan sambil menenteng rokok dan soft drink di kedua tangannya. Fenomena ini terlihat jelas tepat dibawah terik matahari dan polusi udara yang telah menjadi ciri khas Kota Jakarta.
Aahhh, Jakarttaaa…
Dari dalam mobil kantor siang itu, saya – bersama tim liputan lainnya – hanya bisa menghela nafas panjang, sambil (ikut-ikutan) meneguk es teh manis dan sebatang rokok. Segeerrrrr. Hehehe!***