Bagai mimpi yang jadi nyata: Saya akhirnya punya kampung halaman. Setelah sekian lama seolah menjadi ‘penghuni abadi’ Kota Bandung, pertengahan bulan Februari 2013 lalu, saya akhirnya hijrah ke kota tetangga.
Ya, begitulah. Saya lahir dan dibesarkan di Kota Bandung. Selain untuk perjalanan wisata, atau kunjungan lain yang hanya bersifat sementara, sejak kecil, saya belum pernah menetap dalam jangka waktu lama di luar kota.
Saat dilahirkan pada 8 Maret 1987 lalu, mendiang nenek dan kakek (dari ayah saya) juga telah tinggal dan menetap di Kota Bandung. Setiap Hari Raya Idul Fitri tiba, kami sekeluarga pasti menyempatkan waktu mengunjungi kediamannya untuk bersilaturahmi dengan sanak saudara lainnya.
Nenek dan kakek saya ini memiliki cukup banyak keturunan. Anak dan cucunya tersebut, kini tinggal secara menyebar di beberapa wilayah sepanjang Pulau Jawa, mulai dari Jakarta hingga Jawa Timur.
Bagi sanak saudara yang tinggal di luar kota, momentum Lebaran ini tentu saja benar-benar terasa feel-nya. Soalnya, mereka mesti “berjuang” terlebih dahulu, dengan melakukan perjalanan selama puluhan bahkan ratusan kilometer sebelum akhirnya dapat berkumpul dengan famili di Bandung.
Ya, itulah yang namanya mudik. Menurut website Indonesia.Travel, kata mudik berasal dari kata udik yang artinya desa; dusun; kampung, dan pengertian lain yang maknanya adalah lawan dari kota. Mudik berarti pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Idul Fitri atau Lebaran.
Sedangkan saya sendiri? Tidak perlu “perjuangan” menempuh perjalanan jauh untuk dapat tiba di rumah mendiang nenek dan kakek. Soalnya, rumah kami sekeluarga menuju kediamannya, hanya memerlukan jarak tempuh tidak lebih dari 10 kilometer, atau sekitar 20 menit perjalanan menggunakan mobil pribadi. Hahaha.
Cerita berbeda ada pada garis keturunan dari ibu. Sepeninggal kakek asli saya, Enin (sapaan akrab saya kepada nenek dari ibu) memutuskan untuk kembali menikah dengan warga Belanda pada sekitar tahun 1990. Sejak saat itu pula, beliau memutuskan untuk meninggalkan kami dan menetap di negeri kincir angin tersebut hingga hari ini. Bentangan jarak antar benua itu, lagi-lagi menghambat impian saya untuk memiliki sebuah kampung halaman.
Karena semua alasan diatas, tidak berlebihan rasanya jika saya merasa – sedikit – bahagia ketika mendapat kabar diterima bekerja di DKI Jakarta. Bukan karena iming-iming gaji yang ditawarkan oleh perusahaan, melainkan lebih karena kini saya telah memiliki sebuah “kampung halaman”.
Tapi lagi-lagi, tahun ini saya kembali dihadapkan pada kenyataan yang berlawanan. Soalnya, job desk sebagai jurnalis berita harian di sebuah televisi swasta nasional ini, mewajibkan saya untuk selalu update berita terbaru, bahkan di hari libur nasional sekalipun.
Meski sempat berharap untuk dapat mudik di hari raya Idul Fitri, sejak awal menerima pekerjaan ini saya sudah sadar: Inilah konsekuensi dari sebuah pilihan.
Andai semua wartawan ikut-ikutan menuntut adanya “Hari Libur Nasional” seperti pekerja lainnya, dari mana masyarakat dapat memperoleh asupan berita dan informasi? Karena sudah jelas, masyarakat yang akan dirugikan karena kehilangan haknya untuk mendapatkan informasi.
.
.
Ditulis di Jakarta, 5 Syawal 1434 H.
Saya yang belum bisa mudik,
Albiansyah.