Sindrom Vickynisasi


via tempo.co

via tempo.co

Kritik itu disampaikan Anas Urbaningrum dengan cukup pedas: “Siapapun pemenang konvensi Partai Demokrat, itu rasanya sulit untuk memenangkan Pilpres 2014.”

Seperti biasa, hari itu, sikap mantan ketua umum Partai Demokrat ini masih tampak tenang. Rona kebahagiaan pun terlihat cukup jelas dari raut wajahnya.

Ya, dalam kediamannya yang terletak di Jl. Teluk Semangka, Blok C9 No.1, Duren Sawit, Jakarta Timur, ia memang tengah meresmikan “Perhimpunan Pergerakan Indonesia”. Sebuah organisasi masyarakat (Ormas), yang konon didirikan untuk memprovokasi potensi anak bangsa, agar dapat terhimpun menjadi suatu kekuatan.

Para loyalisnya berkumpul untuk memberi dukungan. Selain itu, peresmian ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh politik lain, seperti Gede Pasek Suardika (Ketua Komisi III DPR-RI dari Partai Demokrat), Saan Mustofa (Sekretaris Fraksi Partai Demokrat), Ahmad Mubarok (Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat), Nazarudin Syamsudin (mantan Ketua KPU), dan lainnya.

[Note: Gara-gara menghadiri acara ini, beberapa hari setelahnya, Partai Demokrat secara resmi langsung mencopot Gede Pasek dan Saan Mustofa dari jabatannya.]

Pria yang telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek hambalang ini membantah anggapan yang menyebut bahwa ormas ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap Partai Demokrat. Meski demikian, dalam sambutannya, Anas cukup banyak melayangkan sindiran. “Sistem pemilihan pengurusnya pun tidak dilakukan dengan konvensi,” katanya saat memperkenalkan ormas baru itu.

Anas juga mengungkapkan, ormas tersebut bukan didirikan sebagai alat untuk menghantam para musuh politiknya. “Lahirnya pergerakan Indonesia, tidak perlu menyebabkan kontroversi hati. Karena ini bukan konspirasi kemakmuran,” ucap Anas, yang langsung disambut oleh gelak tawa hadirin.  “Jadi tidak perlu ada yang labil ekonomi, dan labil psikologinya,” lanjutnya.

Saya ikut terkekeh. Sindrom vickynisasi yang semula hanya ramai diperbincangkan di dunia maya, nyatanya kini mulai dijadikan bahan guyon di dunia nyata. Tidak hanya sebatas mewabah di kalangan anak muda, bahkan politikus sekelas Anas Urbaningrum pun ikut terjangkit sindrom vickynisasi.

Hahaha. Sudahlah. Mari meluncur ke bagian selanjutnya… 😀

Semerawut dan Tak Bermakna

Rumah sederhana itu terasa cukup nyaman. Meski tidak terlalu luas, pekarangan rumah yang terletak di Jl. Mutiara D 180, Jakasampurna, Bekasi Barat itu tampak cukup asri, karena dihiasi oleh beberapa jenis tumbuhan yang tertata rapi.

Dalam rumah tersebutlah Sari Endahwarni tinggal. Wanita yang hingga kini masih aktif mengajar Bahasa Rusia di Universitas Indonesia ini, menyambut kedatangan kami dengan ramah. Hari itu, saya memang telah membuat janji dengannya untuk melakukan wawancara soal vickynisasi, dari sudut pandangnya sebagai seorang pemerhati bahasa.

Ya, penggunaan gaya bahasa kocak ala Vicky Prasetyo yang laris manis di situs youtube tersebut, pada akhirnya mendorong produser di kantor untuk membuat tayangan soft news mengenai fenomena ini.

Sebelum memulai wawancara, kami sengaja berbincang santai terlebih dahulu dengan Ibu Sari. Kepada kami, ia menuturkan pendapatnya bahwa kosakata yang digunakan Vicky dalam konferensi pers tersebut semrawut serta tidak memiliki makna.

Seperti yang diketahui, dalam video berdurasi 59 detik itu, Vicky menggunakan sejumlah kata yang terdengar aneh, seperti kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, kudeta, labil ekonomi dan lainnya. Selain itu, Vicky juga kerap menggunakan beberapa potongan kata bahasa inggris (tanpa grammar), serta kata lain yang ditambah dengan imbuhan “isasi”. Dengan kata-katanya itu, menurut Ibu Sari, Vicky ingin coba mengesankan bahwa dirinya lebih terpelajar dan modern.

Dari sekian banyak kesalahan bahasa yang digunakan Vicky, Ibu Sari mengambil contoh kata ‘konspirasi kemakmuran’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menurutnya, secara harfiah kata konspirasi dapat didefinisikan sebagai komplotan. “Mungkin yang dimaksud adalah meningkatkan derajat kemakmuran. Tapi dia menggunakan kata yang tidak tepat,” katanya.

Terlepas dari segala kesalahan yang dilakukannya, ia menyarankan bahwa setiap orang mesti dapat konsisten dalam berbahasa. Artinya, bila ingin bicara dalam bahasa Indonesia, gunakanlah dengan baik dan benar. Sebaliknya, bila ingin berbicara menggunakan bahasa asing, pergunakanlah bahasa asing yang umum dan standard, sesuai dengan situasisasi. Eh, salah, maksudnya sesuai dengan situasi.

Penuh Manipulasi

Masih dengan tema yang sama. Hari berikutnya, saya mewawancarai Ibu Nunki Suwardi, seorang ahli psikologi komunikasi alam bawah sadar. Selain untuk mengetahui kepribadian Vicky, wawancara dengannya juga bertujuan agar kami dapat memperoleh informasi mengenai bahasa tubuh dari yang bersangkutan.

Ibu Nunki memang telah lama dikenal jeli untuk menafsirkan makna dari gerak tubuh seseorang. Ia meyakini bahwa dibalik gerak tubuh manusia, sekecil apapun, memiliki sebuah makna didalamnya. Ia menyebutnya dengan istilah mikro ekspresi. “Orang yang tidak jeli sulit untuk melihat. Karena gerakan bahasa tubuh itu sifatnya mikro yah, cepat sekali,” ungkapnya.

Sebelum melakukan wawancara, Ibu Nunki terlebih dahulu memperhatikan rekaman kocak Vicky yang diputar melalui gadgetnya. Kepada kami, ia banyak menunjukan arti dari gerak-gerik tubuh Vicky saat tengah diwawancara oleh sejumlah media massa.

Misalnya saat di akhir tayangan, Zaskia Gotik mengatakan, “Aku dibeliin rumah ya sayang ya?”. Meski Vicky menjawab, “Ya, nanti kita komunikasikan lagi,” namun dalam rekaman video tersebut, badan Vicky terlihat sedikit bergerak menjauh dari Zaskia. “Itu menunjukan keengganan Vicky untuk memenuhi apa yang diminta pasangannya,” kata Ibu Nunki.

Singkat cerita, ia menafsirkan Vicky sebagai seseorang yang memiliki kepribadian manipulatif. Pasalnya, yang bersangkutan tidak terlihat memiliki usaha untuk mengkomunikasikan idenya secara jelas, kepada audience yang menjadi lawan bicaranya. Padahal, pada hakikatnya bahasa merupakan suatu cara yang dilakuan untuk menyampaikan ide serta gagasan. “Seseorang yang dengan sengaja dan sadar menggunakan bahasa yang tidak jelas, patut diduga sedang menyembunyikan sesuatu dibaliknya,” ucapnya.

Terlepas dari hasil analisis psikologi ibu Nunki, tampaknya, argumen bahwa Vicky merupakan seorang manipulatif masih dapat terlihat dari kaca mata orang awam. Terbukti, pada akhirnya pria twenty nine my age ini mesti berurusan dengan hukum karena terlibat dalam kasus pemalsuan surat tanah seluas 2.594 meter persegi dengan total kerugian Rp 1 Miliar. Pemalsuan dokumen, termasuk tindakan manipulatif juga, bukan? Hehehe.

Virus Pasca Kolonialisme

Selain berfungsi sebagai media komunikasi, bahasa juga diketahui memiliki fungsi sebagai identitas. Bahasa dapat membantu seseorang untuk membedakannya dengan orang lainnya. Ketika seseorang ingin membangun identitas sebagai seorang yang hebat, kelas atas, serta intelektual, pada umumnya mereka akan berupaya menggunakan gaya bahasa yang berbeda dengan orang kebanyakan.

Kurang lebih, hal itulah yang disampaikan oleh sosiolog, Devie R Sasra, saat ditemui di kantornya, Jl. Dr. Saharjo No. 202, Jakarta Selatan. Menurutnya, karena cukup lama dijajah oleh bangsa asing di masa lalu, kaum pribumi (baca: orang Indonesia) seperti kita, cenderung menganggap bangsa asing atau orang berkulit putih memiliki status sosial yang lebih tinggi.

Maka tak heran bila dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui orang yang kerap menyelipkan beberapa istilah asing saat tengah berbicara dalam Bahasa Indonesia. Contoh kecil dapat terlihat dari penggunaan kata, “Oh iya, by the way salam kenal ya,” atau mungkin, “Lagi on the way nih. Nanti gue hubungi lagi deh,” dan lain-lain.

Mbak Devie menyebut fenomena ini sebagai virus pasca kolonialisme. Menurutnya, orang yang ‘terjangkit’ virus ini, selalu ingin terlihat tampil berbeda dengan bahasa yang digunakan. “Caranya bagaimana? Dia menggunakan Bahasa Inggris. Yang bagi sebagian masyarakat umum, mewakili bangsa yang besar dan mewakili karakter masyarakat tertentu yang terpelajar,” paparnya.

Ketika disinggung masalah gaya bahasa Vicky Prasetyo, wanita muda yang juga berprofesi sebagai penyiar radio ini mengatakan bahwa pada dasarnya bahasa bersifat fleksibel. Namun perlu diingat, fungsi utama bahasa adalah untuk berkomunikasi.

Ketika fungsi komunikasi tersebut berbenturan dengan aturan umum, seperti yang dilakukan oleh Vicky, hal ini kemudian dapat memunculkan ‘efek komikal’ bagi masyarakat yang mendengarnya. “Efek yang membuat masyarakat kemudian mengolok-olok siapapun orang yang berusaha berkomunikasi dengan cara yang tidak bisa dimengerti oleh masyarakat,” kata Devie.

Pamungkas, Devie juga menegaskan bahwa mempelajari bahasa asing sebetulnya sangatlah penting, terlebih lagi di era globalisasi seperti saat ini. Namun menurutnya, ada baiknya bila penggunaan bahasa tersebut juga disesuaikan dengan konteks dan waktunya. “Sehingga tidak mempermalukan bangsa ini didepan bangsa lain,” katanya menutup wawancara sore itu.***

.

.

.

====================

Catatan: Sebagian materi dari tulisan diatas telah dipublikasikan secara audio-visual pada program Buletin Indonesia Siang (GlobalTV), hari Rabu, 18 September 2013.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s