Penutup Cerita Majalah Flona


Do what you love. When you love your work, you become the best worker in the world. – Anonymous.

 

Saya suka menulis. Dan yang lebih penting lagi, saya adalah seorang pecinta hewan. Kedua modal tersebut bisa dikatakan cukup, untuk mengantarkan saya menjadi penulis lepas atau kontributor di Majalah Flona.

Bagi saya, menulis untuk majalah ini bisa dibilang sebagai salah satu sarana untuk refreshing. Selain dapat menyalurkan hobi terhadap dunia flora dan fauna, media ini juga saya manfaatkan sebagai sarana pengukuhan ‘eksistensi diri’ sebagai penulis. “Lumayan juga untuk nambah-nambah daftar panjang curriculum vitae (CV),” pikir saya. Hehehe!

Majalah Flona edisi 130, Oktober 2013.*

Majalah Flona edisi 130, Oktober 2013.*

Mengambil tajuk “Majalah Hobi dan Bisnis Flora Fauna,” salah satu unit bisnis yang berada dibawah Kompas Gramedia (Group of Magazine) ini tentunya menargetkan pembaca dari kalangan yang sangat tersegmentasi. Tapi jangan salah, bagi para pecinta flora dan fauna, nama majalah ini masih eksis dan cukup dikenal.

Secara esensi, perlu disampaikan pula bahwa saya sebenarnya tidak terlalu mengejar keuntungan finansial selama menulis disana. Dengan memperoleh banyak relasi dan mendapat berbagai pengetahuan seputar dunia flora dan fauna saja, rasanya sudah lebih dari cukup. Lagi pula, saya memiliki penghasilan utama dari pekerjaan di tempat lain.

Saya tidak pernah mempertanyakan perihal terus menurunnya honor yang saya terima, ketika artikel yang saya kirim telah naik cetak. Bulan Januari 2013, honor yang diberikan jajaran manajemen untuk satu liputan yang terdiri dari 6.000 karakter (2,5 halaman) di Microsoft Word adalah sebesar Rp 500.000. Sempat bertahan selama beberapa bulan di angka yang sama, kian lama, jumlah honor yang saya terima makin berkurang menjadi Rp 450.000, Rp 400.000, hingga akhirnya menyentuh angka Rp 300.000.

Awal tahun 2014, Majalah Flona memperbaharui format dengan ukuran lebih kecil. Melalui sambutannya di bagian editorial, redaksi menyampaikan bahwa perubahan ini merupakan dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, yang – saat itu – menyentuh pada level angka Rp 12.000. “Upaya berkelit dari melonjaknya harga kertas, kami bermetamorfosis dengan mengubah format ukuran lebih kecil menjadi 17 cm x 22,3 cm, namun jumlah halaman ditambah menjadi 96 halaman,” katanya.

Ironisnya lagi, meski ukurannya makin menyusut, harga jual majalah malah mengalami peningkatan sebesar Rp 5.000, menjadi Rp 30.000/ eksemplar. Aroma ‘protes’ dari para pembaca pun sayup-sayup mulai terdengar.

Karena berstatus sebagai kontributor, tentunya, saya tidak pernah tahu perihal gejolak apa yang tengah mendera jajaran manajemen saat itu. Hingga pada akhirnya, Majalah Flona memutuskan untuk berhenti berproduksi per bulan November 2014.

*

Mendirikan industri media massa tentunya membutuhkan modal besar. Terutama di era digital, media cetak – seperti koran, majalah dan tabloid – tidak lagi dapat mengandalkan oplah penjualan sebagai sumber utama pemasukan perusahaan. Mau tidak mau, mereka mesti mampu meraih iklan demi keberlangsungan hidup medianya.

Nampaknya, hal itu pula yang menjadi alasan Majalah Flona untuk gulung tikar. Melalui pesan singkatnya, editor Majalah Flona, Tisna Wimarna mengatakan bahwa masalah finansial menjadi faktor utama ditutupnya majalah ini. “Ya, secara bisnis tak menguntungkan. Gak akan diproduksi lagi kali, Bi,” ungkapnya.

Padahal, di kalangan pecinta flora dan fauna sendiri, nama Majalah Flona masih terbilang cukup besar. Meski tidak semuanya memiliki notabene sebagai pelanggan setia, setidaknya, hampir seluruh narasumber yang pernah saya temui mengaku mengetahui tentang Majalah Flona.

Saya masih ingat betul, ketika Majalah Flona sempat ramai dikecam oleh sebagian aktivis lingkungan yang tergabung dalam Komunitas Peduli Lingkungan Hidup (KPLHI), Kukang ID, ProFauna Indonesia, Jakarta Animal Aid Network (JAAN) hingga International Animal Rescue (IAR). Soalnya, dalam edisi 123 yang terbit bulan Maret 2013 lalu, Flona mengangkat laporan utama tentang mamalia eksotis, dengan judul “Eksotisme Musang Pandan.”

Majalah Flona edisi 123.*

Majalah Flona edisi 123.*

Masalahnya tidak lain datang akibat adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan konservasi. Dengan memasukannya sebagai berita, para aktivis berpendapat, Majalah Flona telah turut membantu melegalkan pemeliharaan satwa liar di kalangan masyarakat. Terlebih lagi, ada beberapa kontributor daerah – tidak termasuk saya – yang menurunkan feature tentang pemeliharaan kukang (Nycticebus coucang), mamalia langka yang oleh IUCN dikategorikan dalam status satwa terancam punah.

Herlina Agustin, pembina ProFauna Indonesia yang juga dosen saya di Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad, langsung melayangkan SMS dan bertanya mengenai adanya pencantuman nama saya sebagai salah satu penulis. Beberapa aktivis lingkungan lain yang kebetulan saya kenal pun menghubungi untuk mengajak diskusi.

Tidak dapat dipungkiri, pendapat tersebut memang benar. Perlu diakui bahwa kesalahan utama Majalah Flona saat itu adalah karena redaksi tidak melakukan filter yang ketat terhadap konten tulisan.

Namun perlu diketahui, selain menjaga keberlangsungan hidup satwa di habitatnya (ex situ), konservasi juga dapat dilakukan di luar habitat asli satwa tersebut (in situ), seperti yang dilakukan oleh kebun binatang dan penangkaran. Hal ini tidak jarang dikemukakan oleh sebagian hobiis, sebagai alasan mereka untuk memelihara satwa liar.

Salah satu breeder (peternak ular) yang pernah saya temui, bahkan berani mengatakan bahwa pengembangbiakan merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk memutuskan laju perburuan satwa liar. “Jadi rantai supply and demand – bagi para hobiis satwa – bisa dipasok dari para peternak itu. Tingkat perburuan satwa di alam pasti jumlahnya akan makin berkurang,” katanya meyakinkan.

Perlu diingat, ratusan tahun lalu, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing pun berasal dari satwa liar. Setelah melalui proses domestikasi dalam kurun waktu yang cukup panjang, keduanya kini dikenal sebagai hewan yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Secara fisik, mereka bahkan telah dikembangkan dalam varian yang cukup beragam, baik dari sisi bentuk/ ukuran tubuhnya, warna rambut, tingkat intelegensi, dan lainnya.

Begitu pula dengan hewan peliharaan seperti ular. Seiring dengan makin bertambahnya jumlah penggemar reptil, hewan melata ini juga mulai banyak ditangkarkan. Untuk jenis sanca bodo (Python molurus), misalnya. Melalui hasil kawin silang dan mutasi genetik, sanca bodo kini telah berhasil dikembangkan dalam banyak varian morph, mulai dari albino, hypo, leucistic, caramel, dan lainnya.

Penangkaran Merak India (Pavo cristatus) dalam Majalah Flona edisi 132, Desember 2013.

Penangkaran Merak India (Pavo cristatus) dalam Majalah Flona edisi 132, bulan Desember 2013.

Teknik beternak ular Python, dalam Majalah Flona edisi 127, bulan Juli 2013.*

Teknik beternak Python, dalam Majalah Flona edisi 127, bulan Juli 2013.*

Ironisnya, meski termasuk salah satu satwa asli Indonesia, upaya pengembangbiakan sanca bodo seperti yang saya paparkan diatas, malah lebih gencar dilakukan oleh para breeder yang berasal dari luar negeri. Setelah berhasil dikembangbiakan dalam jumlah melimpah, tidak jarang, sanca bodo hasil tangkaran itu kembali di impor ke Indonesia. Lucu, bukan? Padahal di alam liar sendiri, saat ini sanca bodo termasuk dalam kategori satwa langka, yang keberadaannya dilidungi oleh PP Nomor 7 tahun 1999 tentang “Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa”, serta UU Nomor 5 tahun 1990 tentang “Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”.

Nah, itulah yang menjadi salah satu alasan saya untuk menulis di Majalah Flona. Melalui setiap tulisan, saya berharap agar pembaca dapat lebih tahu, mengenal dan peduli pada setiap satwa dan tumbuhan yang ada di Indonesia. Lebih jauh lagi, Majalah Flona juga mungkin bisa menjadi salah satu inspirasi bagi pembaca untuk menemukan peluang bisnis. Karena seringkali, peluang investasi bidang peternakan dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Padahal, sektor peternakan mempunyai peran cukup penting dalam perekonomian Indonesia, baik dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, maupun dalam penyediaan bahan baku industri.

Tapi, ya sudahlah! Nggak perlu dibahas lagi. Yang lalu biar berlalu. Karena mau dibahas seperti apapun, dalam kenyataannya, manajemen Kompas Gramedia telah kadung mengamputasi Majalah Flona sebagai salah satu unit bisnisnya.

Padahal, dengan target segmentasi yang sangat terbatas, peluang Majalah Flona untuk bersaing tidak terlalu ketat. Bahkan untuk tingkat nasional sekalipun, kompetitor dari media serupa masih dapat dihitung dengan jari. Mungkin juga tidak lebih dari jumlah jari yang ada di satu tangan.

Sejauh pengamatan, saingan terberatnya saat ini hanya Majalah Tr*b*s. Kalau cuma itu, saya pikir, dengan “memainkan” sedikit konten pemberitaan dan memperbaharui manajemen – khususnya di jajaran marketing – masalah itu pasti masih bisa diatasi.

Selama sekitar 10 tahun berdiri, majalah ini juga tercatat pernah menerima penghargaan Bronze Winner The Best of Special Interest Local Magazine 2013, yang diselenggarakan oleh Indonesia Print Media Award (IPMA). Penyerahan piala dilakukan di Manado, pada tanggal 8 Februari 2013 lalu. Pada ajang yang sama, sebelumnya Majalah Flona juga pernah memenangkan piala Silver Winner The Best of Special Interest Local Magazine IPMA 2011.

Loh, kok dibahas lagi!? Akh, sudah… sudah…

Anggap saja refleksi saya ini sebagai tanda perpisahan, serta penutup cerita (yang tak sempat tersampaikan) di Majalah Flona. Sekian.

 

Jakarta, November 2014

Kontributor,

Albiansyah.

6 pemikiran pada “Penutup Cerita Majalah Flona

    • Terima kasih…
      Majalah Flona seri lama, beberapa kali pernah saya lihat di tempat penjual buku2 bekas.

      Atau mungkin mas bisa coba hubungi layanan pelanggan sirkulasi Kompas Gramedia, di Jl. Palmerah Selatan siapa tau masih tersedia. Hehee

      Selamat berburu.

      Salam ✌

      Suka

  1. Sayang sekali ya Majalah Flona tutup, saya juga suka majalah ini karena pengemasan kontennya menarik. Kebetulan juga smpt jadi kontributor, ada berapa tulisan smpt naik publis diantaranya ttg liputan Anoa, satwa endemik Sulawesi, saat mengunjungi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Gorontalo..
    Ternyata kenalan kita di Majalah Flona, orang yg sama ya, yaitu Tisna..kawan ini saya kenal saat Pertemuan Nasional Pertama Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) di Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, tahun 2006..dari situ saya diajak jadi kontributor Majalah Flona.. Menurut saya, penutupan sejumlah majalah dan koran karena dampak dari digitalisasi… Salam..

    Suka

    • Halloo, Mas Marwan Azis. Wah, senang bisa kenal sesama ex-kontributor. Hehehe. Iya, Majalah Flona emang pegangannya Kang Tisna. Saya malah baru ketemu langsung beliau, setelah hampir setahunan jadi kontributor. Itu pun gak sengaja, kebetulan waktu itu saya lagi liputan penanaman pohon mangrove di Jakarta Utara untuk GlobalTV.

      Iya Mas, setuju. Mungkin salah satunya dampak digitalisasi. Yang saya tahu, sebelum resmi ditutup Majalah Flona juga sempat meluncurkan website http://www.flona.co. Tapi entah kenapa, mungkin belum terlalu bisa bersinergi. Akhirnya sekarang websitenya hilang juga. 😦

      Salam kenal & terima kasih sudah mampir Mas Marwan.

      Regards!

      Suka

  2. Sama2, Salam kenal juga kang Albi, oh jdi Majalah Flona sempat meluncurkan website http://www.flona.co ya..sayang banget tidk dilanjutin, pada menurut saya arsip lama itu bisa diupdate ke website.. Sekarang Albi stay di Jakarta apa di Bandung?
    Senang berkenalan dgn Kang Albi..

    Salam

    Suka

    • Saya sekarang stay di daerah Cempaka Putih, Jakarta. Hehehe. Mas Marwan tinggal dimana? Masih nulis untuk media kah sekarang?

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s