Lahan Sengketa di Jantung Ibu Kota


rumah susun 2

Pesan singkat itu kembali datang:

“Mengingatkan saja, bahwa kontrak RSTA 41.3.3 mau habis. Untuk perpanjangan, silahkan transfer sesuai surat kontrak sebelum 15-1-2015. Trims.”

Pada tanggal pertengahan, setiap tiga bulan sekali, SMS tersebut seolah menjadi notifikasi langganan yang selalu menghiasi layar ponsel saya. Bahkan, susunan kalimat yang dikirimkan pun hampir sama. Hanya keterangan tanggal, bulan dan tahunnya saja yang tampak berubah.

Pak Yasin. Demikian pria paruh baya ini biasa disapa. Sosoknya yang energik, ramah, dan humoris, menjadi daya tarik tersendiri bagi kepribadiannya. Mungkin, karena itulah para tetangga di wilayah ini selalu tampak betah saat berbincang dengannya. Tak heran pula bila dalam setiap ajang pemilihan ketua RT, dirinya yang selalu terpilih untuk menempati jabatan tersebut.

Saya sendiri mengenalnya sebagai seorang “bapak kontrakan”. Ya, pada pertengahan bulan Januari 2014, tepatnya empat hari pasca melangsungkan prosesi pernikahan di Kota Bandung, saya langsung memutuskan untuk hijrah ke tempat ini. Sebuah pemukiman padat penduduk yang selalu ramai. Bangunan empat lantai dengan pemandangan sexy karena selalu dipenuhi jemuran tetangga. Wilayah penuh kejutan. Dan yang pasti: langkah awal bagi saya untuk membina kehidupan rumah tangga.

*

Malam belum terlalu larut, ketika toa – pengeras suara – dari Masjid Said Na’um memekik nyaring mengucapkan salam, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Saya spontan terdiam, disusul gerakan sigap istri saya menyambar remote control untuk memperkecil volume televisi.

1Sama seperti di masjid lain pada umumnya. Selain adzan, toa masjid memang seringkali difungsikan sebagai sarana untuk mengumumkan berbagai informasi. Mulai dari berita kematian, mengumpulkan warga untuk melaksanakan bakti sosial, kegiatan sunatan massal, dan lainnya.

Namun diluar dugaan. Untuk pertama kalinya, saat itu saya mendengar toa masjid digunakan sebagai himbauan bagi warga untuk menonton televisi. Kurang lebih, seperti ini isinya:

“Bagi para warga Rumah Susun Tanah Abang, dari RW 1 sampai RW 12, dimohon untuk menyaksikan Metro Realitas pukul sebelas malam ini. Metro TV akan menyiarkan soal rumah susun yang kita diami, terkait sengketa perpanjangan Hak Guna Bangunan, bla, bla, bla…”

Merasa penasaran dengan pengumuman tersebut, saya langsung memasang reminder di televisi, agar tidak terlewat untuk menyaksikan tayangan tersebut. Ada apa dengan Rumah Susun Tanah Abang?

Seketika itu pula, pikiran saya langsung mengawang-awang. Pengumuman ini merupakan sebuah strategi jitu, untuk dapat mempengaruhi minat masyarakat dalam menonton sebuah tayangan di televisi. “Mungkin bisa dicontoh oleh stasiun televisi lain untuk meningkatkan ratting,” pikir saya. 😀

*

Dikepung puluhan gedung raksasa yang menjulang tinggi, disanalah Rumah Susun Tanah Abang (RSTA) berdiri. Saat didirikan pada sekitar tahun 1980-an, bangunan empat lantai ini diklaim sebagai rumah susun percontohan pertama di Indonesia, yang diresmikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Jend. Besar TNI Purn. H.M. Soeharto (alm).

Salah satu driver di tempat saya bekerja, Bang Dede bercerita, puluhan tahun lalu, sangat sedikit dari warga Ibu Kota yang berminat untuk tinggal di bangunan empat lantai ini. “Soalnya dulu disana bekas kuburan,” kata pria yang mengaku menghabiskan masa kecilnya di wilayah Tanah Abang ini.

Namun siapa sangka, seiring berjalannya waktu, RSTA menjadi salah satu pemukiman favorit yang terletak tepat di jantung Ibu Kota. Pemukiman ini berjarak sangat dekat dengan Pasar Tanah Abang, sebuah pusat perputaran ekonomi yang – menurut tayangan di Metro Realitas – terbesar di Indonesia. Maka, tidak heran bila mayoritas dari penghuni rumah susun ini adalah pedagang.

Sama seperti penghuni lain pada umumnya, alasan utama saya memilih tinggal di RSTA, tak lain karena lokasinya yang strategis. Untuk mencapai tempat kerja saya di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit menggunakan sepeda motor. Begitu pula dengan kantor istri saya yang terletak di Jl. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dengan menyusuri jalan melalui arah Karet Bivak, saya hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 20 menit untuk mengantarkannya.

Kalau lagi suntuk, kami dapat menikmati segala fasilitas terdekat. Hanya dengan berjalan kaki, kami dapat menjamah bioskop Blitz Megaplex, cafe, dan toko buku Geamedia yang ada di mall Grand Indonesia, berburu pakaian murah di Thamrin City, ataupun sekedar jalan-jalan ke Car Free Day (CFD) setiap hari Minggu di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin.

Namun lagi-lagi, karena lokasinya yang strategis, harga sewa yang ditawarkan terbilang cukup tinggi. Para pemilik rumah susun biasa memasang tarif antara Rp. 20 – 30 juta per tahun. Beruntung, disini saya mendapat unit yang disewakan per tiga bulan dengan harga sebesar Rp. 5.100.000,-.

Seperti layaknya rumah tipe 36, pada umumnya, setiap unit rumah susun memiliki sebuah ruang tamu berukuran sekitar 4 x 6 meter, dua kamar tidur, dapur mini, serta satu kamar mandi. Beberapa diantaranya – termasuk di unit saya – juga telah dilengkapi dengan fasilitas pendingin ruangan (AC).

Keistimewaan lain, disini juga kami tidak perlu repot membeli tabung gas untuk keperluan memasak. Soalnya, setiap unit rumah susun telah dilengkapi oleh fasilitas gas bumi yang tertanam di dinding dapur. Untuk pemakaiannya, setiap bulan kami hanya perlu mengeluarkan biaya antara Rp. 20 – 30 ribu.

*

Mei 2013. Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, mendatangi warga RSTA, untuk menjelaskan rencana peremajaan di lingkungan setempat. Tanpa mengenakan biaya bagi para warga, rencananya bangunan empat lantai ini akan ditingkatkan menjadi sebanyak 20 lantai. “Intinya dibangun lantai tinggi, tapi warga tetap diberi hak yang sama seperti sekarang,” kata Jokowi dalam tayangan Metro Realitas tersebut.

Alih-alih tergoda, tawaran tersebut justru mendapat penolakan keras dari para warga. Mereka khawatir, alibi peremajaan kelak hanya akan membuat biaya perawatan makin mahal, layaknya di apartemen mewah.

Akibatnya, upaya memperpanjang Hak Guna Bangunan (HGB) yang diajukan oleh warga tidak digubris oleh pejabat berwenang. Penghuni menduga, lokasi RSTA yg strategis menjadi alasan utama Perum Perumnas mempersulit perpanjangan HGB.

Sebagai syarat perpanjangan, penghuni harus mengantongi surat dari Perum Perumnas. Sengketa antara keduanya pun makin meruncing, karena belum ada kata mufakat hingga saat ini.

Meski telah cukup merasa nyaman, hal diatas seringkali memberi sedikit keraguan pada saya untuk terus berlama-lama mengontrak di kawasan ini. Apalagi untuk membeli salah satu unit, seperti yang pernah diusulkan istri saya diatas ranjang, saat menjelang tengah malam.

Menceritakan segala hal tentang RSTA, mungkin tidak akan ada habisnya. Walau sepintas terlihat kumuh, nyatanya wilayah ini tidak jarang dimanfaatkan sebagai lokasi shooting, baik untuk film layar lebar, video clip group band, maupun iklan sebuah produk. Salah satunya adalah film “Mengejar Matahari” besutan sutradara Rudi Sujarwo yang sempat populer di tahun 2004.

Mencoba berpikir positif, mungkin kesan “kumuh” di wilayah ini sengaja dilestarikan, untuk menjaga orisinalitas serta bentuk artistik di bangunan ini. Ya, mungkin saja.***

5 pemikiran pada “Lahan Sengketa di Jantung Ibu Kota

Tinggalkan komentar