28 Tahun Legalisasi Perdagangan Telur Penyu


Banyak yang berubah, saat saya mengetik hashtag bertuliskan #pangumbahan di media sosial Instagram. Bangunannya tampak lebih elegan, dengan infrastruktur jalan yang (sepintas) lebih tertata rapi. Jauh berbeda dengan apa yang saya lihat saat berkunjung ke tempat tersebut.

Namun secara umum, aktivitas wisatawan yang terpantau melalui media sosial berbagi foto ini masih sama. Banyak foto tentang pemandangan indah, pelepasliaran tukik (anak penyu), hingga aktivitas pengamatan induk penyu yang tengah mendarat untuk bertelur.

Oh, iya. Ngomong-ngomong soal reptil satu ini, saya punya sedikit cerita menarik yang rasanya sayang kalau tak kembali dituliskan.

Otak saya mulai berpikir keras. Coba mengungkit ingatan yang telah lama terkubur. Sejumlah dokumen saya ‘muntahkan’, mulai dari kliping liputan, dokumen foto, serta data digital lain dari hard disk eksternal usang yang telah lama tak digunakan.

Untunglah, saya termasuk orang yang lumayan apik dalam urusan simpan-menyimpan arsip. Terlebih lagi yang terkait dengan tugas peliputan.

Namun nyatanya, cukup sulit untuk merekonstruksi perjalanan lama itu menjadi sebuah cerita. Saya perlu berkonsentrasi selama berjam-jam. Memandangi satu persatu dokumen yang terpapar di depan mata. Hingga akhirnya, rekaman memori betul-betul membawa saya ke masa itu: enam tahun lalu.

*

September 2010

Rasa tak nyaman ini mungkin tak akan terasa, andai saat itu saya patuhi perintah mama. “Cepat dicukur! Udah kayak perman pasar,” ujarnya. Saya hanya tersenyum, bergeming.

Dan kini, di pantai ini, laknat tersebut seolah datang. Rambut gondrong ini masih saja terasa lengket, meski sebelumnya telah dibilas conditioner untuk menghaluskan. Belasan, bahkan mungkin puluhan helai lainnya telah berguguran. Mengendap di sela gerigi sisir. “Gara-gara air laut,” saya berkelakar. Aditya Putra, rekan kerja saya saat itu, seolah tak peduli.

Sesuai rencana awal, setibanya di Pantai Pangumbahan, kami akan segera melepas dua ekor tukik penyu hijau (Chelonia mydas). Hewan malang korban perdagangan illegal, yang kami beli dari Kawasan Tegalega, Kota Bandung.

Tukik penyu hijau (Chelonia mydas).*

Tukik penyu hijau (Chelonia mydas).*

Selamat merayakan kebebasan.*

Selamat merayakan kebebasan.*

Rasa lega bercampur haru muncul, saat melihat kedua tukik tersebut berjalan perlahan menuju pantai. Mereka terus mengibaskan kaki kecilnya. Berusaha menghadang terjangan ombak yang terus menyapu bibir pantai.

Keduanya perlahan mulai luput dari pandangan kami, lalu hilang ditelan luasnya lautan. Entah apakah selanjutnya mereka dapat survive hidup atau malah mati akibat seleksi alam. “Yang penting sudah ada niat baik,” pikir saya.

Ya, entah darimana sumbernya. Tahun 2010 lalu, ada beberapa pedagang ikan hias bandel yang kerap menjual tukik di lapaknya. Padahal, Bandung jelas merupakan sebuah kawasan yang terletak sangat jauh dari bibir pantai. Beberapa ekor diantaranya ditempatkan dalam aquarium yang sengaja disembunyikan. Sementara sebagian lainnya yang menjadi display, ditaruh dalam plastik transparan. “Penyu air tawar,” katanya meyakinkan.

Penjualan illegal tukik.*

Sebagian tukik korban perdagangan illegal.*

Diselundupkan diantara ikan hias.*

Diselundupkan di antara ikan hias.*

Salah satu tukik yang kami beli sebelum dilepasliarkan.*

Salah satu tukik yang kami beli sebelum dilepasliarkan.*

Dalam lubuk hati terdalam, sebenarnya, ingin sekali saya memborong semua tukik itu untuk dilepas ke habitatnya. Tapi tentu, ini bukan solusi yang bijak untuk memutus rantai penjualan. Malah bisa jadi, langkah tersebut akan membuat penjualan tukik makin masif, karena para pedagang menganggap bahwa hewan ini merupakan komoditas yang laku di pasar.

*

Langit pagi masih bersinar cerah, saat tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Anhar Nur Fauzi, bocah SMA yang merupakan tetangga di komplek saya menelepon.

“Haloo. A Albi, katanya lagi di Ujung Genteng?”

“Iya. Kenapa?”

Urang rek nyusul ka ditu, nya! (Saya mau menyusul kesana, ya!),” katanya.

Saya terkejut. Karena jelas, kunjungan ke tempat ini bukan untuk sekedar bermain, tapi juga untuk menyelesaikan misi liputan yang telah dirancang dari jauh hari sebelumnya. “Hah! Serius mau kesini? Sama siapa?” saya bertanya.

“Iya. Jeung Si Ardi. Sekalian belajar foto, kan kemarin baru beli kamera SLR. Sebentar lagi mau berangkat, kok.”

Setelah meminta pendapat Adit, saya akhirnya mengizinkan keduanya untuk menyusul. Lagi pula, keberadaan mereka mungkin kelak dapat saya manfaatkan untuk berkamuflase. Ya, agar pada saat itu, kami seolah memang tengah liburan, bukan liputan.

Sudahlah. Lupakan sejenak tentang dua bocah kurang piknik itu. Sesuai rencana awal, pagi itu, saya dan Adit bergegas mengunjungi Turtle Center, sebuah tempat konservasi penyu yang saat itu baru didirikan selama satu tahun.

Entah bagaimana kondisinya kini. Enam tahun sebelum blog ini ditulis, akses jalan yang perlu dilalui untuk dapat tiba di lokasi sangatlah buruk. Terlebih lagi saat musim hujan. Banyak genangan kubangan cukup dalam, yang terpaksa harus kami lewati. Untunglah, motor bebek yang kami tumpangi tidak rewel.

Akses jalan menuju kawasan konservasi penyu Pantai Pangumbahan, tahun 2010.*

Akses jalan menuju ke kawasan konservasi penyu Pantai Pangumbahan, tahun 2010.*

Semua perjuangan cukup terbayar saat kami tiba di lokasi. Ini adalah kali pertama bagi saya, melihat tukik dalam jumlah begitu banyak. Jauh lebih banyak dari yang saya lihat di tempat penjaja ikan hias beberapa hari sebelumnya. Ratusan hewan mungil ini ditempatkan pada beberapa baskom besar, yang berada di dalam ruangan gelap. “Supaya gak stress, jangan kena terlalu banyak sinar,” kata salah satu penjaga Turtle Center.

Tukik yang berhasil ditetaskan di Turtle Center.*

Tukik yang berhasil ditetaskan di Turtle Center.*

Uniknya lagi, ada pula beberapa ekor penyu hijau albino. Sebuah kelainan genetik bawaan alam, yang membuatnya tampak berbeda dan lebih indah. Di habitatnya, konon reptil macam ini cenderung sulit bertahan hidup hingga usia dewasa. Soalnya, warna yang mencolok membuatnya sangat mudah terlihat oleh predator.

albino

Tukik penyu hijau albino.*

Tak banyak yang dapat kami lakukan untuk menunggu sore hari, waktu dimana tukik-tukik ini akan dilepasliarkan. Disela perbincangan, saya terus mengorek informasi dari penjaga Turtle Center, terkait upaya pelestarian penyu. Ia menjelaskan banyak hal, terkecuali, saat kami bertanya mengenai peredaran telur penyu illegal. Ada banyak hal yang tampak mereka tutup-tutupi. Wajar saja. Karena sesuai etika, saat itu kami memang sengaja memperkenalkan diri sebagai jurnalis.

Sekitar pukul 16.00, belasan pengunjung mulai berdatangan ke lokasi. Dua orang diantaranya, merupakan jurnalis salah satu TV swasta nasional. Suatu profesi yang tanpa diduga, juga turut saya lakoni beberapa tahun setelahnya.

Saat baskom ditumpahkan, ratusan ekor tukik pun berlomba merangkak menuju laut lepas. Pengunjung yang menyaksikan tampak antusias. Adit dengan sigap langsung mengabadikan momen tersebut dengan kamera.

Suasana pelepasan tukik.*

Melepas ratusan ekor tukik.*

Jurnalis salah satu stasiun TV meliput proses pelepasan tukik.*

Jurnalis salah satu stasiun TV meliput proses pelepasan tukik.*

Seperti yang Anda lihat, jumlah tukik yang dilepasliarkan tampak sangat banyak. Namun perlu diketahui, dari 100 telur yang dihasilkan, hanya ada satu atau dua ekor saja yang dapat bertahan hingga dewasa.

Prof. Djoko Iskandar, ahli herpetologi dari ITB yang sebelumnya sempat saya wawancarai di Kota Bandung mengatakan, fenomena tersebut merupakan hal yang sangat wajar. “Ini namanya logic matemathics. Kalau penyu menghasikan seratus telur, lalu semuanya jadi dewasa? Artinya populasinya meningkat 100 kali lipat. Itu tidak mungkin,” ungkapnya.

Jelang malam hari, Anhar dan Ardi akhirnya tiba di Pantai Pangumbahan. Kami berempat pun begadang, menanti penyu yang mendarat untuk bertelur. Nah, buat yang ingin tau lebih dalam soal proses penyu bertelur, ulasannya bisa simak di guratankaki.com yang ditulis rekan saya disini. Ceritanya nggak jauh beda kok. Hehehe!

 

*

Menyaksikan induk penyu bertelur.*

Menyaksikan induk penyu bertelur.*

Pangumbahan merupakan pantai memikat. Kontur pantai yang landai dan terbilang sepi, membuat sejumlah induk penyu gemar mendarat ke tempat ini untuk berkembang biak. Data yang dihimpun dari Turtle Center mencatat, sepanjang bulan Oktober 2010 saja, hampir sebanyak 16 ribu ekor tukik yang berhasil ditetaskan di tempat ini. Sementara itu, jumlah telur yang berhasil dikumpulkan mencapai sekitar 25.000 butir.

Pantai selatan ini punya sejarah panjang terkait upaya pelestarian penyu. Sejak tahun 1980 hingga pertengahan tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Sukabumi melimpahkan otoritas pengelolaan lahan konservasi pada kontraktor swasta, CV Daya Bakti.

Dengan alibi untuk menutup biaya operasional, saat itu, 60% dari telur yang dihasilkan dari kawasan ini dinyatakan legal untuk dijual. “Untuk aktivitas jual-beli telur, perusahaan (CV Daya Bakti) dulu memang memiliki surat-suratnya. Alasannya untuk biaya pengelolaan dan membayar upah karyawan,” kata salah satu staf Turtle Center.

Beruntung. Seiring dengan makin dikenalnya kawasan ini sebagai destinasi wisata, seruan protes untuk pencabutan “perda kontroversial” ini terus bermunculan. Hingga akhirnya, pengelolaan kawasan konservasi kembali diambil alih pemerintah per akhir April 2008.

Fakta ini membuat kami terkejut. Mengerikan rasanya membayangkan bahwa selama 28 tahun, lebih dari setengah telur reptil tersebut bebas dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis. Padahal, sejak 12 September 1997, Pemerintah Indonesia bersama negara Asean lainnya telah menandatangani kesepakatan bersama mengenai konservasi dan perlindungan penyu.

Ruang penetasan telur penyu.*

Ruang penetasan telur penyu.*

Didirikannya Turtle Center, diklaim makin mempersempit ruang gerak para pencuri telur. Terlebih lagi, area konservasi sepanjang 2,4 kilometer tersebut, telah dibatasi oleh pagar tembok yang cukup tinggi. Lantas, sudah tuntaskah permasalahan sampai disana? Tampaknya, belum.

Melalui salah satu warga yang tinggal tak jauh dari lokasi, saya menemukan pernyataan yang bertolak belakang. Sebut saja namanya Asep. Menurutnya, telur penyu masih cukup mudah didapatkan, bahkan dari sejumlah oknum yang bekerja di lembaga konservasi sendiri. “Karena insentif karyawan masih gak mencukupi, terkadang mereka ikut main juga,” katanya meyakinkan. “Mereka itu kan masih mantan pekerja dari pengelola yang dulu.”

*

Empat hari sudah kami bermalam. Sialnya lagi, meski telah merasa yakin, kami belum mengantongi bukti kuat tentang adanya penjualan illegal telur penyu di sekitar kawasan ini. Ketika prosedur normal sulit ditembus, mau tak mau, kami terpaksa mengeluarkan jurus andalan: penyamaran.

Melalui seorang rekan yang pernah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sekitar wilayah tersebut, saya memperoleh nomor kontak salah satu pejabat desa. “Dia bisa bantu, kalau elu butuh telur penyu buat oleh-oleh,” katanya.

Ya, begitulah. Seperti yang saya katakan, tak hanya warga biasa, bahkan tingkat pejabat desa pun tahu betul tentang seluk beluk penjualan telur penyu. Kali ini, kami sama sekali tak membuka identitas sebagai jurnalis.

Singkat cerita, sampailah kami di Pasar Surade yang berjarak sekitar 25 km dari Pantai Pangumbahan. Kami pun bertemu dengan pejabat desa yang dimaksud. “Tunggu saja, biasanya jam segini si ibu penjualnya datang,” katanya.

Jeng… Jeng… Jeng… Kali ini, rencana berhasil. Tanpa perlu menunggu lama, seorang wanita tua datang sambil menggenggam plastik besar berwarna hitam. Isinya tak lain adalah telur penyu.

Strategi yang sejak awal telah disusun pun mulai dijalankan. Dengan sangat berhati-hati, Adit mengeluarkan ponsel Sony Ericson W580i miliknya. Seri hand phone yang (pada masa itu) dapat menghasilkan foto dengan kualitas paling lumayan. Adit berpura-pura mengetik SMS, sambil membidik lensa ke arah sang pedagang. Beberapa foto candid pun kami dapatkan.

Penjualan illegal telur penyu.*

Penjualan illegal telur penyu.*

telur penyu dijual 2

Pelanggan dan penjual telur penyu.*

Entah harus lega atau kecewa. Yang jelas, saat itu juga bukti otentik telah kami dapatkan. Kami akhirnya pulang, dengan membawa beberapa butir telur penyu.

Setibanya di Kota Bandung, saya langsung memberikan telur itu pada Anhar dan Ardi yang telah menawarkan diri untuk menjadi “relawan” penyantap telur illegal itu. Sementara itu, saya dan Adit yang sejak awal terlibat dalam proses peliputan, sama sekali tidak tertarik.

Anggap saja, ini merupakan pengakuan dosa saya, yang (dengan sengaja) telah membeli telur penyu dan membiarkan rekan saya menyantapnya. Maafkan saya, Tuhan.***

===========================

Note: Semua data, cerita, wawancara, serta publikasi foto yang saya posting di blog kali ini, dilakukan pada tahun 2010. Beberapa mungkin telah berubah. Semoga saja (kalaupun ada) perubahan itu menuju arah yang lebih baik.

Salam konservasi!

pangumbahan 2010

4 pemikiran pada “28 Tahun Legalisasi Perdagangan Telur Penyu

  1. Seru sampe nelusurin perdagangan ilegalnya, mang! Pernah baca juga di media-media massa lokal, ada oknum berseragam yang terlibat. Teuing seragam naon, nu pasti lain seragam KompasTV. Hahahaha. Keren oge misina, membebaskan tukik ke alam liar. They were born to be wild, not to be a fucking cute pet 😦

    Tetap ngefans sama gaya dan alur nulisnya, mang. Santai tapi tetap hidup. Lanjut!

    Suka

  2. Bener Mang Iyos, keep wildlife in the wild!
    Jaman dulu di Bandung lumayan marak penjual tukik macam kieu. Mana disimpen di air tawar. Penyiksaan pisan 😦

    Nuhun mang, geus jadi “inspirasi”. *Siga slogan KompasTV* hahaha

    Suka

    • Di Jawa Barat, penangkaran di tempat ini kayaknya emang yang paling oke deh. Saya belum pernah liat kalau di daerah lain. Hehee.
      Terima kasih sudah mampir 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar