Saya terperanjat, saat menerima dua baris pesan dari Taufiq via whatsapp messenger. “Posisi dimana? Ada perubahan arah angin,” katanya singkat.
Aktivitas saya bersama tim Kacamata Petualang yang tengah melakukan peliputan buah apel, sebagai salah satu ikon Kota Batu, Jawa Timur pun sontak terhenti. Kami langsung berpamitan sementara dan bergegas pergi ke Gunung Banyak yang berjarak sekitar 7,5 km dari lokasi kami berdiri saat itu.
Langkah ini dinilai merupakan pilihan paling tepat, lantaran sudah selama empat hari, kami menunggu untuk bisa meliput aktivitas olahraga paralayang di kota ini. Meski demikian, sejumlah keraguan masih menghantui saat di perjalanan, “Jangan-jangan setibanya kami di lokasi, arah angin akan kembali berubah.”
Ya, bukan hal yang mudah melakukan peliputan tentang olahraga udara satu ini. Terlebih lagi di tengah tak menentunya cuaca, seperti saat saya datang ke tempat tersebut, pada minggu pertama bulan Desember 2016.
Jawaban dari Taufik sedikit menenangkan pikiran saya. “Sekarang masih bisa. Paling banter satu jam dari sekarang, karena di timur sudah berkabut,” ungkapnya.
Untuk menunjang evektifitas peliputan, strategi pengambilan gambar dirumuskan dengan matang. Satu orang kameramen, Mahfud Rosyadi, bersama produser lapangan Rikki Oktriady, ditugaskan untuk standby di lokasi landing. Sementara saya bersama Caesa Ramadhanis (host), Yustoufan (kameramen) dan Ardi Nugroho (pilot drone), melakukan pengambilan gambar dari tempat take off.
Namun alangkah kecewanya kami, lantaran saat tiba di lokasi sekitar pukul 11.00 AM, ternyata angin sudah benar-benar berubah arah. Indikator tersebut jelas terlihat dari windshock – tabung kain berbentuk kerucut, yang berfungsi sebagai penunjuk arah dan kecepatan angin – yang terus berkibar ke arah timur. Sementara untuk dapat lepas landas, kami harus menunggu hingga angin berbalik arah.
Tepat seperti prasangka awal saya, Dewi Fortuna enggan berpihak pada kami. “Baru beberapa menit lalu angin berubah arah, Mas. Saya tadi sempat terbang dua kali,” ujar Taufiq dengan nada penyesalan.
Mendengar jawaban tersebut, kami hanya dapat pasrah. Dalam kondisi ini, tak ada gunanya juga untuk mengerurtu dan mempersalahkan alam. Karena tentu, hal itu sama saja dengan menghakimi kehendak Tuhan.
*
Gunung Banyak merupakan salah satu destinasi wisata pilihan di Kota Batu, Jawa Timur. Setiap harinya, banyak wisatawan yang rela meluangkan waktu untuk menikmati panorama keindahan alam dari tempat ini.
Terlebih lagi pada pagi hari. Saat saya melepas pandangan ke arah timur, tampak jelas kemegahan rona merah cakrawala yang menyeruak diantara Gunung Bromo dan Semeru. Dingin udara pagi pun perlahan lenyap, seiring dengan makin terpaparnya cahaya mentari di bumi. Ini merupakan salah satu sunrise terbaik yang pernah saya saksikan.
Di gunung yang hanya memiliki ketinggian 1.315 MDPL ini, wahana olahraga paralayang telah diresmikan sejak 20 Juni 2000 silam, oleh Ketua Umum Federasi Aero Sport Indonesia, Marsekal TNI Hanafie Asnan. Atau lebih tepatnya, seiring dengan digelarnya Pekan Olahraga Nasional (PON) XV di Jawa Timur.
Seperti halnya kami, banyak dari wisatawan domestik maupun mancanegara yang rela datang, hanya untuk merasakan sensasi mengudara menggunakan paralayang. Sistem tandem diberlakukan bagi masyarakat awam, yang ingin menjajal wahana adrenalin tersebut. Bersama para penyedia jasa tandem yang ada di lokasi, Anda bisa merasakan nikmatnya megudara dengan durasi sekitar 5 – 10 menit.
Oh, iya. Kembali lagi ke cerita peliputan kami yang nyaris saja kandas. Ditengah ‘galaunya’ cuaca, saya dan kru lain masih harap-harap cemas menanti keajaiban: angin berbalik arah.
Bagaimana tidak, selama empat hari bermalam di Kota Batu, kami terus hilir-mudik ke Gunung Banyak untuk memantau pergerakan arah angin. Jika rencana hari itu gagal, mau tidak mau, kami mesti mencoret paralayang dari daftar peliputan. Sialnya lagi, di sisa waktu yang semakin sempit, tentu kami mesti berpikir keras untuk mencari ide liputan baru sebagai penggantinya.
Kegundahan semakin lengkap, saat awan di langit mulai menghitam. Sebuah pertanda bahwa hujan akan segera turun.
Namun ditengah suasana hati kami yang kian pesimis, Taufiq justru punya anggapan lain. Matanya liar menatap ke arah langit, sambil sesekali memerhatikan pergerakan daun yang tersapu angin. “Begitu turun hujan di arah timur, biasanya ada sedikit angin yang berembus ke barat,” ujar Taufiq sambil menunjuk ke arah awan yang paling hitam. “Itu yang nanti bisa kita manfaatkan untuk terbang.”
“Yang bener, Mas?”
“Iya, biasanya begitu. Tapi harus cepat, karena mungkin (angin) hanya datang dalam hitungan detik,” katanya.
Enggan menyia-nyiakan waktu, Caesa yang telah mengenakan perlengkapan keamanan paralayang langsung bersiap di posisi landing. Seluruh kru pun dengan sigap mengambil posisi di tugasnya masing-masing.
Tanpa diduga, setelah beberapa lama menunggu, apa yang diperkirakan benar-benar terjadi. Angin mulai berembus ke barat. Seketika Taufiq langsung mengajak Caesa berlari sambil menarik tali-tali harnet yang tersambung ke parasut, dan “BLUUBBB!!!”, parasut mengembang sempurna. Disusul pekikan suara Caesa yang super nyaring, seolah membelah langit. Terbaaanng!
Segala pujian terhadap Sang Maha Pencipta mengalun perlahan dari mulut saya. Alhamdulillah. Terima kasih Allah, selesai sudah satu tema peliputan. Andai saja ponsel ini menyimpan Mp3 lagu “I Believe I Can Fly” ciptaan R. Kelly, ingin rasanya saya putar musik tersebut sekencang-kencangnya. Hahaha 😀
Jujur saja, saya cukup terkesima. Semahir itukah Taufiq dapat menganalisis pergerakan arah angin? Ya, pengalaman telah membuktikan segalanya.
*
Taufiq Muchsin bukan orang baru dalam dunia olahraga paralayang. Sepak terjangnya tersebut telah dimulai sejak tahun 2009. “Tapi aku baru boleh terbang dengan orang lain (tandem), waktu tahun 2011,” kata Taufiq saat tengah berbincang santai di warung kopi.
Memang bukan hal yang mudah untuk bisa menjadi instruktur tandem olahraga dirgantara satu ini. Sebelum mengantongi lisensi tandem, setiap pilot mesti punya jam terbang yang cukup tinggi. “Syaratnya, harus berpengalaman seribu kali terbang secara solo. Terus minimal dia juga pernah terbang di lima tempat berbeda di Indonesia,” ungkapnya.
Ya, mendengar pernyataan tersebut, tak heran jika muncul anggapan bahwa paralayang merupakan ‘olahraga mahal’. Belum lagi jika melihat biaya pelatihan dan harga perlengkapan paralayang, yang bila dijumlahkan nominalnya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Tapi tentu saja, semua itu akan sebanding dengan hasil yang didapat setelahnya. Di Gunung Banyak sendiri, ada sekitar sepuluh orang yang menggantungkan hidup dengan menyediakan jasa tandem paralayang.
Setiap wisatawan mesti merogoh kocek sekitar Rp 350.000 untuk sekali mencoba sensasi adrenalin tersebut. Nah sekarang, coba deh Anda bayangkan, jika dalam sehari ada 10 orang yang ingin terbang. Tergambar kan berapa penghasilan yang bisa mereka peroleh?
Namun kembali lagi, disini mereka ‘bekerja’ dengan alam. Tak ada yang bisa memberi kepastian tentang seperti apa kondisi arah angin hari ini, besok, ataupun lusa. “Biasanya angin cenderung baik pada bulan April sampai Oktober,” katanya.
Saat cuaca tengah tak bersahabat, secara otomatis pendapatan mereka pun akan berkurang drastis. Atau mungkin, sama sekali tak berpenghasilan. Taufiq sendiri termasuk beruntung, karena diluar aktivitasnya sebagai instruktur paralayang, ia juga merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu insansi pemerintahan.
Terlepas dari semua itu, ilmu tentang “kesabaran” menjadi pelajaran berharga yang saya petik dari olahraga dirgantara ini. Ada kalanya Anda mesti tetap menunggu. Namun dalam situasi lain, ada kalanya pula Anda mesti bertindak cepat untuk memanfaatkan sedikit peluang yang ada.***