Bicara soal keunikan budaya di Indonesia nggak pernah ada habisnya. Mungkin jodoh. Tanpa sengaja, saya amat terpukau kala menemukan salah satu tradisi seru ala Pulau Dewata, dimana warga dari seluruh penjuru desa tumpah ruah di jalanan. Mereka membentuk dua kubu dan menggelar aksi saling lempar satu sama lain. Bukan, ini bukan tawuran. Ini adalah prosesi puncak dari ritual adat Aci Tabuh Rah Penganggon.
Bali lagi. Lagi-lagi Bali. Asli deh. Walau sudah beberapa kali bolak-balik, gak pernah bosan rasanya berkunjung ke tempat satu ini. Meski beberapa rekan sering bilang Bali sebagai wisata mainstream, masa bodoh. Karena buat saya, selalu ada hal baru di sana. Semoga di tahun-tahun mendatang saya punya kesempatan buat kembali lagi. Amiin.
Kembali ke topik awal. Sebenarnya tidak ada agenda khusus untuk datang ke ritual adat Aci Tabuh Rah Penganggon, saat saya tengah menyusun rundown liputan di Jakarta. Alasannya, saya memang tidak tahu. Hehehe.
Serba mendadak dan serba kebetulan. Ya, kalau bukan karena jodoh, tidak mungkin kami bisa datang ke acara tersebut. Saya sendiri baru mengetahui tentang acara ini pada H-1, dari sesama rekan wartawan yang bekerja di Bali. Bagi orang media, tentu ini merupakan kesempatan emas yang tak mungkin dilewatkan.
Untuk mengantisipasi kemungkinan macet, keesokan harinya kami sengaja bangun lebih pagi. Benar saja, ternyata hari itu merupakan momentum sakral bagi mayoritas umat Hindu di Bali. Purnama Kapat, demikian warga setempat menyebutnya. Mereka percaya, momentum ini merupakan hari yang sangat baik untuk menggelar ritual keagamaan.
Sepanjang perjalanan, beberapa kali kendaraan yang saya tumpangi mesti memperlambat laju, kala berpapasan dengan iring-iringan warga. Tampak jelas, mereka akan menuju Pura di wilayahnya masing-masing untuk beribadah.
Begitu pula dengan Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengawi, Kabupaten Badung, yang tak lain merupakan tujuan perjalanan saya. Saat kami tiba, rangkaian ritual adat telah dimulai. Ratusan warga dari berbagai penjuru desa berdatangan memadati areal Pura.
Kaum wanita membawa sesaji berupa tipat bantal (ketupat) di atas kepalanya. Mereka tampak elok dengan balutan busana tradisional yang dikenakannya. Sementara mayoritas kaum pria menggunakan kemeja putih, lengkap dengan selempot (kain serupa sarung yang digunakan melingkar di pinggang) serta ikat kepalanya.
Di depan Pura, para Pecalang dibantu aparat kepolisian sibuk mengatur arus lalu lintas, sambil sesekali membantu warga yang hendak menyeberang. Maklum saja, Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal memang terletak di jalan protokol yang ramai kendaraan bermotor.
Sementara di dalam areal Pura, ratusan warga telah memulai prosesi sembahyang. Kami dibebaskan untuk mengabadikan momen tersebut dengan kamera, asalkan tidak mengganggu jalannya ritual. Oh iya, sebelum masuk ke lingkungan Pura, saya beserta kru lain pun diharuskan memakai selempot.

Membakar dupa.*

Rangkaian upacara adat Aci Tabuh Rah Penganggon.*
Tak hanya menjadi tontonan memukau bagi turis domestik. Ternyata, acara ini juga menarik minat sejumlah turis mancanegara. Bahkan, tampak pula rombongan media asing yang sengaja datang untuk meliput.
Pasca sembahyang, suguhan tarian adat pun digelar di areal halaman Pura. Saya lupa nama jenis tariannya. Yang jelas sih ini bukan tari kecak. Hehehe. Jujur saja, momen itu merupakan kali pertama saya menyaksikan tarian khas Bali secara langsung dalam gelaran tradisi sakral. Sebelumnya, saya hanya pernah beberapa kali melihat tarian serupa di acara pentas seni, atau saat tengah berwisata ke GWK.

Salah satu tarian khas tradisional Bali.*

Musik pengiring (1).*

Musik pengiring (2).*
Rangkaian puncak dari Aci Tabuh Rah Penganggon sendiri digelar pada siang hari. Jauh sebelum dimulainya prosesi ini, salah satu pemuda Karang Taruna setempat telah memperingatkan agar kami berhati-hati. “Nanti suasana bakal crowded. Lemparan bisa gak jelas arahnya. Tahun lalu juga ada tuh, wartawan yang kameranya rusak kena lemparan,” katanya.
Singkat cerita, akhirnya momen yang ditunggu pun tiba. Tanpa komando yang jelas, kerumunan warga langsung berhamburan ke tengah jalan dan membentuk dua kubu. Mereka langsung saling lempar satu sama lain, dengan menggunakan tipat bantal sebagai amunisinya. Ya, ini dia acara puncak yang paling ditunggu semua orang.

Pengunjung dapat ikut serta dalam acara lempar tipat bantal.*
Massa dari kedua kubu terus melancarkan serangan tanpa jeda. Mereka melempar siapa saja yang ada di hadapannya, tidak pandang bulu.
Untuk memaksimalkan proses pengambilan gambar, dua kameramen sengaja saya tempatkan terpisah. Satu di sisi barat, satu lagi di sisi timur bersama dua orang host. Sementara itu, droner terbang bebas mengambil suasana kemeriahan dari udara.
Saya dan sejumlah fotografer yang berada di bilah sisi kerumunan massa tetap waspada. Karena meski mengambil posisi di jarak yang relatif aman, sesekali ada saja lemparan nyasar yang nyaris mengenai kamera.
FYI. Walaupun enak dimakan, tekstur tipat bantal (ketupat) yang padat, ternyata lumayan sakit juga loh saat dilontarkan dan mengenai anggota tubuh. Coba deh. Hahaha 😂

Gambar udara kemeriahan gelaran acara lempar tipat bantal di Desa Adat Kapal, Badung, Bali.* Foto oleh: Ade Jonkoping
Prosesi lempar tipat sendiri berlangsung dalam durasi yang sangat singkat. Mungkin hanya sekitar lima hingga tujuh menitan.
Riuh tepuk tangan dari seluruh peserta membahana, tanda prosesi puncak Aci tabuh Rah Penganggon telah usai. Rona sukacita terpancar jelas dari raut wajah mereka. Tidak boleh ada rasa marah – apalagi dendam, meski banyak dari mereka yang menjadi “korban” pelemparan.
Lantas, kapan Anda bisa ikut seru-seruan di acara serupa? Berikut akan saya jelaskan. Catat (dan pelajari) tanggalnya yaa!
Kedatangan saya ke tempat ini tidak lain hanya karena kebetulan. Tapi buat kalian yang penasaran ingin sengaja datang menyaksikan Aci Tabuh Rah Penganggon secara langsung, ada beberapa tips yang mungkin bisa membantu.
Salah satunya, coba pahami Kalender Bali atau sistem penanggalan yang digunakan oleh umat Hindu Bali. Konon, penanggalan ini ditentukan berdasarkan posisi matahari dan bulan. Karena seperti yang saya ceritakan di atas, Aci Tabuh Rah Penganggon akan selalu dilaksanakan warga Desa Adat Kapal setiap Purnama Kapat.
Yang jadi pertanyaan, kapan datangnya Purnama Kapat? Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu paham mengenai sistem penanggalan masyarakat Bali. Tapi melalui perangkat search engine Google, saya menemukan suatu website menarik (klik disini). Di website tersebut, Anda tinggal memasukan tahun dalam kalender masehi. Selanjutnya, tanggal akan secara otomatis terkonversi menjadi penanggalan Kalender Bali.
Cara yang lebih akurat, mungkin bisa dilakukan dengan bertanya ke rekan Anda yang tinggal di Bali. Saya rasa, mayoritas warga Bali – terutama Umat Hindu – akan mengetahi kapan tepatnya Purnama Kapat tiba.
Kalau tidak punya kenalan di Bali? Seperti yang sering saya lakukan saat hendak berkunjung ke lokasi-lokasi ‘terasing’, kita bisa coba bertanya ke pihak dinas pariwisata. Dalam hal ini, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung mestinya dapat memberitahu kapan tepatnya Aci Tabuh Rah Penganggon akan digelar. Karena tentu, sosialisasi terkait agenda budaya semacam ini merupakan salah satu instrumen penting bagi pengembangan destinasi, yang menjadi tanggung jawab pihak dinas pariwisata.
Selamat berwisata!***