Kerja Lapangan atau Kantoran?


Ketatnya pengamanan jelang penetapan hasil akhir rekapitulasi Pilpres 2014.*

Salah satu alasan saya memilih dunia wartawan sebagai profesi, adalah karena “kebebasan” yang ditawarkan. Punya ruang kerja yang lebih luas, bisa mengenal orang dari berbagai latar belakang, dan jam kerja yang fleksibel (walaupun seringkali over time & tak mendapat upah lembur). Dalam beberapa kesempatan, saya bahkan tak perlu repot berpakaian formal layaknya pekerja kantoran lain.

Karenanya saya sangat keberatan, saat bos di perusahaan tempat saya bekerja menawarkan memerintahkan untuk menempati posisi sebagai Associate Producer. “Promosi jabatan,” demikian mereka menyebutnya.

Saya sempat mengajukan penolakan keras, walaupun sadar, upaya itu gak bakal ada gunanya. Ya, namanya juga karyawan. Kalau kebanyakan komplain, paling ujung-ujungnya si bos cuma bakal bilang, “Emang ini kantor punya bokap elo.” Kelar.

Pemandangan klasik pengusir jenuh.*

Hari-hari selanjutnya, saya hanya ditaruh di ruangan kantor yang dingin. Meeting pagi, menyunting berita kiriman reporter, meeting evaluasi, meeting proyeksi, dan pulang ke rumah sore harinya. Besoknya? Ya, kurang lebih begitu lagi. Monoton, memang.

Untuk mengusir jenuh, sesekali saya melepas pandangan ke luar jendela. Melihat padatnya lalu lintas kendaraan, kereta seliweran di stasiun Gondangdia, dan sejumlah orang yang hilir mudik entah mau kemana. Tidak ada pilihan. Karena mungkin, inilah view terbaik yang paling terjangkau mata.

Saya jadi ingat saat awal bekerja sebagai reporter di stasiun TV ini, ada beberapa produser yang doyan banget ngomel. Mulai dari komentar soal angle naskah, wish list liputan yang gak sesuai, komuk (baca: muka) kusut waktu on camera, gambar bluis, dan lain-lain. Kritik yang positif, pastinya saya terima dengan legowo. Walau ternyata, usut punya usut, orang yang bersangkutan gak punya background yang mumpuni juga selama masih di lapangan. Ah, pasti dia kurang piknik.

Bicara soal on camera, saya mungkin termasuk satu dari sedikit reporter TV yang mukanya jarang terlihat di layar. Kalaupun sesekali nongol di TV, sudah pasti itu karena “terdesak” alias kehabisan akal untuk mencari alasan. Hahaha. Ini soal passion. Saya merasa jauh lebih nyaman ketika berada di balik layar. Maklum. Jauh sebelum menekuni dunia pertelevisian, saya adalah wartawan media cetak.

Awal jadi reporter. Sering dikritik gara-gara muka (dianggap) kusut.*

Syukur Alhamdulillah. Setelah hampir dua tahun terbelenggu, rotasi penugasan akhirnya membawa saya menempati divisi feature.

Meski hanya terdiri dari tim kecil, pekerjaan di divisi ini cukup menyenangkan. Karena kebetulan, garapan yang paling dominan adalah program traveling. Pada momen-momen tertentu, kami juga diminta untuk membuat program dengan gendre human interest. Ya, tak masalah. Terlepas dari semua itu, satu hal yang bikin saya betah di sini adalah: kerja lapangan.

Yang jelas, dinamika pekerjaan saya kali ini cukup penuh kejutan. Kaki kembali bebas menapaki tempat-tempat baru, mata dimanjakan oleh view menawan, dan kembali mengenal orang dari berbagai latar belakang.

Ruang rapat formal rasanya tak terlalu penting untuk mengemukakan gagasan dan pendapat. Bahkan “ide liar” seringkali datang di momen yang sangat tak terduga. Saat tengah bersantai sambil menghisap tembakau di warung kopi, misalnya.

Saking excited saya sampai lupa, ternyata satu tahun belakangan blog ini sangat jarang update. Padahal sebenarnya, ada beberapa cerita menarik yang ingin saya bagikan. Mungkin lain waktu bakal saya tulis, sambil nunggu mood. Hehehe. Sampai jumpa di postingan selanjutnya!***

2 Oktober 2017. Bersama dua host Program Travel Addict, Ladislao dan Albern Sultan di Pulau Nusa Ceningan, Kab. Klungkung, Bali.*

15 Juli 2017. Menikmati panorama alam dari ketinggian 900 Mdpl di Kec. Salem, Kab. Brebes, Jawa Tengah.*

April 2017. Keceriaan di tengah laut, dalam perjalanan menuju Pulau Kelapan, Kab. Bangka Selatan.*

6 pemikiran pada “Kerja Lapangan atau Kantoran?

  1. …dan urang sekarang sedang ada di kondisi beberapa paragraf awal. Duduk di meja korlip sejak Agustus. Kata beberapa orang, “enak udah di atas”. “Ngomong mah enak”, kata urang dalam hati. Bahahahaha..

    Selamat! Semoga langgeng di ditu!

    —Iyos, komentar dari meja korlip.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Ping balik: Selamat Tinggal GTV! | Alby Notes

Tinggalkan komentar