Saya bersumpah tidak sedikitpun menggunakan software editing untuk mempercantik warna foto dalam konten blog kali ini. Ya, sesekali, biarkan mata kamera bekerja sebagaimana mestinya.
Ada yang ingin saya tanyakan, kawan. Apa pendapat Anda melihat foto di bawah ini?

Pantai Tanjung Pesona.*
Lokasinya terletak di Pantai Tanjung Pesona, Sungailiat, Bangka Tengah, Bangka Belitung. Secara visual, tampak jelas hamparan panorama indah kawasan pesisir pantai, dipadu gradasi air pesisir pantai berwarna hijau – biru tosca yang menggoda. Setuju?
Kalau iya, artinya Anda sependapat dengan saya. Tapi dengan sangat menyesal, mesti saya katakan bahwa jawaban kita sama-sama SALAH.
Sekitar pukul sembilan pagi, rekan saya Ade “Jonkoping” Supriyatna mengambil gambar tersebut dengan menggunakan drone merk Dji Phantom 3. Hari itu, memang mentari tengah bersinar dengan sangat cerah. Saya pikir, warna yang dihasilkan hanyalah efek dari pantulan sinar matahari (Please, correct if I’m wrong).
Karena nyatanya, gugusan pantai di Tanjung Pesona – dan sejumlah pantai lain yang ada di Pulau Bangka – tidaklah seindah itu. Mayoritas telah ternoda oleh masifnya aktivitas pertambangan timah.
Nggak percaya? Sekarang mari coba bandingkan gambar diatas, dengan foto yang diambil dari sudut yang berbeda.

Pantai Tanjung Pesona, sekitar pukul 10:00 WIB.*

Pengunjung bisa memanfaatkan fasilitas jestki.*
Tampak sangat jauh berbeda, bukan?
Orang-orang di lingkungan sekitar tahu betul, keruhnya air laut terjadi akibat penambangan pasir timah oleh Kapal Isap Produksi (KIP) yang beroperasi tak jauh dari bibir pantai. Jumlahnya terbilang cukup banyak. Dengan “mata telanjang” saja, saya bisa menghitung ada belasan unit KIP yang bertengger di lepas pantai.
Yang jadi akar masalah adalah cara mereka dalam melakukan aktivitas pertambangan. Untuk bisa mengeruk pasir timah dengan kuantitas banyak, kapal-kapal tersebut akan melakukan pengeboran di dasar pantai.
Akibatnya lumpur dan zat kimia sisa pertambangan hanyut kemana-mana, hingga menutupi batu karang yang menjadi habitat sejumlah biota laut dan membuat keruh air di sekitarnya. Tak jarang pula mereka mesti menghancurkan karang, bila pasir timah mengendap di sela karang tersebut.
Rusaknya ekosistem laut ini jelas berdampak langsung pada kehidupan nelayan. Wajar saja jika makin hari, banyak nelayan yang mengeluhkan bahwa hasil tangkapannya terus berkurang. Toh di tempat ini, ikan-ikan telah kehilangan sarang dan makanannya.
Suka atau tidak, inilah realitas yang mesti dihadapi masyarakat dari masa ke masa. Konon nama Bangka sendiri berasal dari kata wangka (vanca), yang dalam bahasa sansekerta berarti timah. Ya, aktivitas penambangan hasil bumi satu ini memang telah berlangsung dalam jangka waktu sangat lama, yakni sejak era kolonial Belanda.
“Timah yang ada di Pulau Bangka itu terbaik di dunia, kalau dari segi kualitas,” kata Pak Yulwan, salah satu rekan saya yang bekerja di Dinas Pariwisata Provinsi Bangka Belitung.
Berkat Pak Yulwan inilah, saya banyak memperoleh informasi soal timah dari beragam perspektif. Mulai dari keuntungan di sisi ekonomi, hingga berbagai dampak yang bisa jadi membawa Pulau Bangka pada ambang kehancuran. Ia bahkan tak ragu untuk memaparkan tentang macam-macam kebijakan ijin pertambangan, yang seringkali bertentangan dengan bidang pariwisata yang ditanganinya.
Tak perlu heran bila sektor pariwisata di bumi laskar pelangi ini terbilang akan lebih sulit berkembang, dibandingkan dengan sejumlah destinasi wisata lain yang ada di Indonesia. Ada terlalu banyak konflik kepentingan.
Pantai Tanjung Pesona sebenarnya hanya satu dari sekian banyak pantai, yang menjadi “korban” eksploitasi pertambangan timah.
Masih soal timah, postingan saya selanjutnya akan bercerita tentang nasib kawanan penyu. Akankah mereka dapat bertahan ditengah keruhnya air laut, sambil menyerap berbagai material sisa pertambangan timah di Pulau Bangka?
Bersambung . . .