Diving dan snorkeling. Dua aktivitas seru nan menggoda bagi sebagian besar traveler, untuk menikmati panorama alam bawah laut.
Sebagai negara kepulauan yang dua per tiga luas wilayahnya didominasi lautan, tentu Indonesia memiliki ragam potensi bahari yang sangat mewah, mulai dari aneka jenis biota laut hingga terumbu karang. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI bahkan mencatat, luas terumbu karang di Indonesia mencapai 50.875 km² yang menyumbang 18% luas total terumbu karang dunia.
Jangan heran bila banyak orang dari berbagai penjuru dunia berdatangan, hanya untuk menyaksikan eksotisme alam bawah lautnya. Tak terkecuali kami, para awak media pemburu keindahan alam dan kegiatan wisata.
Di program Travel Addict GTV, eksplorasi kegiatan underwater selalu menjadi wish list dalam peliputan di berbagai daerah pesisir. Bila ada kesempatan, tak mungkin kami melewatkannya.
Karenanya, saya sangat bahagia saat melihat stand banner di Pantai Tongaci, Sungailiat, Kabupaten Bangka, yang menawarkan diving dan snorkeling sebagai pilihan paket wisata. Namun harapan tersebut seketika kandas, saat saya mengutarakan maksud dan tujuan pada Owner De’Locomotief Tongaci Beach, Anton Soegito.
“Gak bisa kayaknya, Mas. Pantainya lagi kotor tuh,” kata Anton sambil menunjuk ke arah pantai.
Sambil mencari ide liputan lain, saya yang diliputi rasa penasaran lalu meminta ijin untuk berjalan-jalan di areal sekitar. Benar saja, ternyata air laut di pesisir Pantai Tongaci memang sangat keruh. Dan lagi-lagi, biang keroknya adalah eksplorasi pertambangan timah oleh kapal keruk dan Kapal Isap Produksi (KIP) di lepas pantai.
Kondisinya bahkan lebih parah, bila dibandingkan dengan Pantai Tanjung Pesona yang saya ceritakan dalam postingan sebelumnya. Di sini, jumlah kapal pemburu timah yang beroperasi bisa mencapai puluhan unit. Mengerikan!
Sayang, saya tak memiliki lensa kamera yang mumpuni untuk mengabadikan objek di jarak jauh. Tapi mari coba kita hitung jumlah kapal yang beroperasi di lepas pantai, dengan gambar yang sedikit “dipaksakan”.

Menghitung jumlah kapal keruk dan KIP yang beroperasi di Pantai Tongaci.*
Foto diatas hanya diambil dari satu sudut. Yang terlihat jelas, mungkin hanya kapal yang beroperasi dengan jarak relatif dekat dari bibir pantai. Tapi percayalah, di bilah sisi kiri dan kanan foto ini, masih banyak bertengger kapal-kapal lain dengan ukuran variatif.
Masalah utama dari keberadaan kapal isap, adalah proses penambangan yang tak ramah lingkungan. Melansir salah satu artikel di bangkapos.com, KIP bekerja dengan cara melakukan pengeboran ke dasar pantai. Terdapat pula pipa yang pada ujungnya memiliki saluran untuk menyemprotkan air, serta saluran pipa lain yang berfungsi untuk menghisap berbagai material dari dasar laut.
Proses pemisahan timah sendiri dilakukan langsung di atas kapal. Sementara itu, limbah sisa pengolahan dibuang begitu saja ke laut.
Meski tidak menggunakan bahan kimia, pembuangan limbah secara serampangan ini jelas memiliki dampak besar bagi ekosistem sekitar. Mungkin, inilah alasan mengapa kini Pantai Tongaci tidak memiliki alam bawah laut yang bisa dibanggakan.
Ironisnya lagi, aktivitas penambangan timah di pantai ini bersinggungan langsung dengan kehidupan penyu. Sejak tahun 2009 lalu, pengelola Pantai Tongaci mendirikan sarana konservasi penyu di bawah bendera ‘Tukik Babel’. Adapun aktivitas konservasi yang dilakukan mencakup penetasan telur, pemeliharaan/ pembesaran, hingga pelepasliaran. “Telur penyu kita ambil dari pulau-pulau kecil di sekitar sini,” kata Anton saat ditanya terkait asal usul telur penyu.
Keberadaan penangkaran diklaim sebagai salah satu langkah guna melindungi spesies penyu dari ancaman kepunahan. Untuk mengedukasi masyarakat, di sini setiap pengunjung dapat memberi makanan penyu dengan menu yang telah disediakan pengelola.
Terdapat sedikitnya dua jenis penyu yang dipelihara, yakni penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Penyu berukuran kecil dipelihara dalam bak penampungan, sementara penyu besar ditempatkan dalam keramba apung yang berada tepat di areal bibir pantai.
Sekarang, mari kita coba berimajinasi. Terbayangkah jika Anda memposisikan diri sebagai penyu-penyu itu? Sejak keluar dari cangkang telur, mereka mesti hidup dalam lingkungan air keruh yang telah terkontaminasi limbah sisa pertambangan. Terlebih lagi selama hidupnya penyu menyerap banyak garam, baik dari makanan maupun air yang diminumnya. Penyu juga memiliki kelenjar di pelupuk matanya yang berfungsi untuk mengeluarkan kelebihan garam.
Anton sendiri tidak banyak berkomentar tentang keberadaan kapal keruk dan kapal isap di lepas pantai. Namun saya ingat betul, ia mengakui bahwa sanitasi air laut yang buruk akibat pertambangan, sangat berpengaruh terhadap kesehatan penyu. “Banyak penyu yang mati. Hampir setiap hari biasanya ada aja,” katanya.
Kegelisahan pengelola sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Tapi tak banyak upaya yang bisa mereka perbuat. Toh pemerintah daerah setempat telah kadung mengobral Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada para pengusaha pertambangan.
Melalui salah satu video yang diunggah oleh tukik babel, kita bisa menyaksikan bagaimana dilema yang mesti dihadapi oleh pengelola Pantai Tongaci. Silahkan simpulkan sendiri:
Lihat deh bagian akhir video, tentang kondisi salah seekor penyu yang ‘mati konyol’. Saking banyaknya yang jadi korban, sampai-sampai mereka mesti membuat kuburan masal bagi penyu-penyu tersebut.
Oke. Sementara, kita sudahi dulu cerita tentang kehidupan penyu.
Tidak ada akar, rotan pun jadi. Karena mustahil untuk menikmati pesona alam bawah laut di Pantai Tongaci, akhirnya kami memilih untuk menikmati game yang ada di permukaan. Sekedar informasi, di sini ada cukup banyak pilihan wahana permainan seru, seperti jet ski, banana boat, parimanta, paparazzi, parasailing, dan lainnya. Lumayan lah, buat hiburan.
Setelah berdiskusi dengan sejumlah kru liputan, kami akhirnya memilih untuk memainkan parimanta dan paparazzi. Soalnya, kedua permainan tersebut dinilai dapat memberi sentuhan visual yang cukup seru bagi pemirsa.
Dua host andalan saya, Albern Sultan dan Fina Phillipe, sangat bersemangat. Mereka tak mengeluh, meski harus terpontang panting hingga berkali-kali terlempar dari sarana permainan. Saya tak terlalu khawatir soal keselamatan keduanya, karena mereka telah menggunakan pelampung sebagai safety equipment dari permainan tersebut.
Satu hal yang bagi saya sedikit mengganjal, lagi-lagi karena buruknya santiasi air. Entah berapa banyak air laut yang tanpa sengaja mesti mereka telan saat itu. Sebenarnya salah satu local guide telah meyakinkan, bahwa sanitasi air yang buruk tidak akan berdampak apa-apa pada manusia. Yah, semoga tidak ada efek jangka panjang.
Mungkin juga kekhawatiran saya terlalu berlebihan, setelah mendengar cerita tentang banyaknya penyu yang mati akibat sambil menyelam minum limbah.***