Suatu hari, saya pernah terkagum saat menyaksikan liputan tentang metode peternakan sapi di Australia, yang disiarkan oleh salah satu jaringan TV kabel. Saya lupa apa salurannya, antara Animal Planet, National Geographic atau Discovery Channel. Yang jelas, hanya tiga kanal ini yang sering saya tonton untuk mengusir suntuk.
Yang menarik, sapi-sapi tersebut tak dipelihara dalam kandang seperti yang lazim dilakukan peternak Indonesia. Mereka dibiarkan merumput di padang savana yang sangat luas, seakan kembali pada fitrahnya. Prinsip animal welfare sangat dijunjung tinggi. Kawanan sapi ini bebas mencari makan secara mandiri, hingga melakukan proses perkawinan alami.
Saya ternyata menemukan hal yang lebih menakjubkan saat tengah berkunjung ke Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Selain menggantungkan hidup dari hasil bumi, ada juga sebagian kecil warga yang beternak sapi. Hewan ternak tersebut ditempatkan pada sebuah lahan luas yang terletak di Bukit Telaga, Sembalun Lawang.
Butuh waktu tempuh perjalanan selama sekitar 1,5 jam untuk bisa mencapai lokasi yang terletak di ketinggian 1500 MDPL ini. Sepintas, lahan peternakan tersebut hanya tampak seperti hamparan padang rumput biasa. Jangan harap bisa menjumpai sapi-sapi ini, jika Anda datang tanpa didampingi pemiliknya.
Ya, koloni sapi yang hidup di Bukit Telaga, biasa bersembunyi di balik belantara pepohonan. Layaknya hewan di alam liar, mereka cenderung menghindari kehadiran manusia. “Mereka cuma mau keluar kalau saya yang panggil,” kata Tommy, pria muda yang mendampingi perjalanan kami saat itu. Sulit dipercaya, pikir saya.
Tommy kemudian berteriak lantang, dengan suara cukup kencang. Intonasinya konsisten. “Yeeeaaa… Yeeaa… Yeeaaa,” demikian kata yang terdengar. Bola matanya menatap tajam ke arah semak-semak dan pepohonan, berharap hewan asuhannya dapat segera keluar dari persembunyian.
Benar saja. Selang beberapa menit, lolongan suara sapi samar-samar mulai terdengar bersahutan. “Jangan ribut, supaya sapinya tidak takut,” kata Tommy memperingatkan. Satu persatu sapi pun mulai keluar dari balik rimbunnya pepohonan. Mereka berjalan perlahan mendekat ke arah kami. Menakjubkan.
Metode pemeliharaan sapi ala masyarakat Sembalun ini, telah berlangsung secara turun temurun. Ada ratusan ekor sapi yang dimiliki oleh beberapa warga. Uniknya, tidak ada sekat pembatas antara lahan peternakan milik satu orang dengan yang lainnya. Ya, secara administratif, Bukit Telaga memang bukan lahan milik perseorangan. Tommy dan keluarganya sendiri mengaku memiliki sekitar seratus ekor sapi. “Ini belum keluar semua. Kalau sore hari biasanya lebih banyak,” katanya.
Bersama sejumlah gembala lain, ia memang secara rutin datang ke tempat ini untuk memastikan kebutuhan mineral hewan ternaknya dapat tercukupi. Terlebih lagi pada musim kemarau. “Di bukit ini mereka kekurangan mineral, sumber airnya hanya sedikit. Makanya kita harus berikan garam,” jelas Tommy.
Sebelum mendaki bukit ini, kami memang sengaja menyiapkan beberapa botol air yang telah dilarutkan dengan garam. Awalnya saya sempat ragu. Benarkah sapi-sapi ini suka mengonsumsi garam? Ternyata memang benar. Seperti yang terlihat pada gambar, mereka sangat bersemangat untuk menanti giliran minum larutan air garam.
Selain untuk memenuhi kebutuhan mineral, intensitas pertemuan dengan hewan ternaknya juga dinilai penting untuk meningkatkan bonding dengan pemiliknya. Tommy mengatakan, hal ini dilakukan agar perilaku sapi-sapi peliharaannya tidak berubah jadi liar.
Hamparan savana di Bukit Telaga, seolah menjadi saksi bisu dari kebahagiaan sapi-sapi yang hidup di dalamnya. Alam sendiri yang memelihara dan memastikan mereka bebas stres. Mereka memakan rumput liar yang segar dan bebas pestisida,
Satu lagi yang penting – dan baru saya ketahui – adalah bahwa tingkat kebahagiaan sapi ternyata berpengaruh pada kualitas daging yang dihasilkan. Alexandre Polmard seorang peternak sapi asal Paris, Perancis, seperti dilansir BBC Indonesia mengatakan, stres pada ternak akan membuat tubuh mereka memproduksi glikogen, asam laktat dan adrenalin yang membuat otot sapi tegang serta berubah asam. Imbasnya, daging sapi terasa alot dan kurang juicy saat dimasak.
Hampir serupa dengan metode yang diterapkan masyarakat Sembalun, cara Polmard membuat sapi mereka bahagia adalah dengan menyediakan akomodasi bintang lima. Termasuk ruang merumput yang luas, berudara segar, serta bebas polusi.
Kalau teori ini benar, saya rasa, tak menutup kemungkinan jika sapi asal Bukit Telaga memiliki kualitas daging yang sama dengan sapi-sapi yang ada di peternakan Paris, Perancis tersebut. Atau justru rasanya lebih enak? Entahlah. Karena hingga akhir perjalanan, saya tidak sempat mencicipi daging sapi tersebut.***