Beberapa hari lalu, Yayasan Sioux Ular Indonesia merilis data soal maraknya kasus gigitan ular di Jawa Barat. Berdasarkan data yang berhasil kami himpun, dari 51 kasus serangan fatal yang terjadi, 10 orang diantaranya meninggal dunia. Data ini kami kumpulkan dalam rentang waktu November 2018 hingga Juli 2019.
Saya yang menjadi salah satu pembicara, banyak ditanyai wartawan terkait “Asbabun nuzul” alias latar belakang dan sebab terjadinya peristiwa tersebut. Sebenarnya, cukup kompleks untuk menjelaskan semua itu secara komprehensif. Tapi di sini, saya akan coba menguraikannya sesuai kemampuan.
Oke. Sebelum masuk ke pembahasan terkait penyebab marak terjadinya kasus gigitan ular, saya akan jabarkan terlebih dahulu daftar dari para korban. Kita mulai dari kobra (Naja sputatrix) dan king kobra (Ophiophagus hannah), dua jenis ular dari famili elapidae yang tercatat paling banyak memakan korban jiwa. Korban tewas saya tulis dengan huruf cetak tebal dan disertai tanda bintang (***) di bagian akhirnya.
Kobra (Naja sputatrix) | King kobra (Ophiophagus hannah) |
Pasirluyu, Bandung – 2 November 2018 | Rajamandala, Tasikmalaya – 23 Februari 2019 *** |
Bekasi – 3 Desember 2019 *** | Bekasi – 30 maret 2019 *** |
Margahayu, Bandung – 12 Desember 2018 | Sumedang – 22 April 2019 *** |
Bekasi – 23 Desember 2018 | Tasikmalaya – 13 Juni 2019 |
Bogor – 6 Februari 2019 | Kiaracondong, Bandung – 29 Juni 2019 *** |
Sukabumi – 26 Maret 2019 *** | |
Cirebon – 11 Mei 2019 | |
Bandung – 13 Mei 2019 | |
Bekasi – 28 Mei 2019 *** | |
Karawang – 30 Mei 2019 | |
Kab. Bandung – 4 Juni 2019 | |
Cirebon – 29 Juni 2019 |
Elapidae lain yang juga tercatat pernah menggigit warga Jawa Barat, yakni ular cabe (Calliophis intestinalis), ular welang (Bungarus fasciatus) dan ular weling (Bungarus candidus), serta ular laut yang merupakan turunan dari sub famili Hydrophiinae. Dalam tabel di bawah ini, kami terpaksa menggabungkan data dari kasus gigitan ular welang dan weling. Karena di lapangan, tidak banyak orang yang bisa mengidentifikasi perbedaan keduanya.
Ular Cabe (Calliophis intestinalis) | Ular Welang (B. fasciatus) & Ular Weling (B. candidus) | Ular laut (Hydrophiinae sp.) |
Bandung – 12 Des 2018 | Ciumbuleuit, Bandung – 25 Des 2018 | Karawang – 2 Feb 2019 *** |
Bogor – 15 Des 2018 | Pajajaran, Bandung – 25 Des 2018 | |
Purwakarta – 13 Jan 2019 *** | ||
Bekasi – 6 Feb 2019 |
Sementara itu, meski tak tercatat menimbulkan korban jiwa, ular dari keluarga Viperidae ternyata berhasil menyumbang kasus gigitan terbanyak pada warga Jawa Barat. Ular hijau ekor merah (Trimeresurus albolabris) memiliki 14 kasus gigitan, ular tanah (Calloselasma rhodostoma) sembilan kasus gigitan, dan ular beludak hitam (Trimeresurus purpureomaculatus) dengan dua kasus gigitan.
Ular hijau ekor merah (Trimeresurus albolabris) | Ular tanah (Calloselasma rhodostoma) | Ular beludak hitam (Trimeresurus purpureomaculatus) |
Purwakarta – 24 Nov 2018 | Rajamandala, Tasikmalaya – 29 Nov 2018 | Bandung – 29 Jan 2019 |
Cililin – 25 Des 2018 | Pangalengan, 24 Des 2018 | Depok – 17 Feb 2019 |
Cikopo – 30 Des 2018 | Cikalong – 3 Jan 2019 | |
Cirebon – 10 Apr 2019 | Bogor – 5 Mar 2019 | |
Serang, Banten – 4 Mei 2019 | Bogor – 26 Mar 2019 | |
Sukabumi – 1 Mei 2019 | Purwakarta – 30 Mar 2019 | |
Sukabumi – 14 Mei 2019 | Bogor – 2 Apr 2019 | |
Sukabumi – 17 Mei 2019 | Sindangkerta, Tasikmalaya – 5 Apr 2019 | |
Sukabumi – 24 Mei 2019 | Depok- 4 Jun 2019 | |
Sukabumi – 27 Mei 2019 | ||
Sukabumi – 29 Mei 2019 | ||
Sukabumi – 30 Jun 2019 | ||
Cikalong – 28 Jun 2019 | ||
Sukabumi – 1 Jul 2019 |
Kasus gigitan fatal terakhir datang dari famili Pythonidae dengan dua kasus gigitan, dimana satu orang diantaranya meninggal dunia. Walau memang salah satu korban tidak tewas, ia tetap kami kategorikan dalam “gigitan fatal”, karena ada kesalahan medis dalam hal penanganannya. Entah karena human error atau faktor ketidak tahuan, rumah sakit yang menangani korban malah memberikan Serum Anti Bisa Ular (SABU) pada korban. Padahal jelas, piton bukanlah termasuk jenis ular berbisa.
*
Dalam kasus gigitan ular berbisa, banyak yang bertanya-tanya, mengapa bisa ada korban tewas dan ada pula yang selamat? Menurut analisis saya, ada beberapa faktor yang jadi penentu hal tersebut, mulai dari keberuntungan hingga faktor penanganan.
Yang pertama adalah keberuntungan. Mesti kita pahami, tidak selamanya ular melepaskan bisa saat menggigit manusia. Para pecinta reptil, khususnya yang memelihara ular berbisa, pasti sudah sangat akrab sengan istilah dry bite atau gigitan kering. Gigitan kering umumnya teridentifikasi dengan munculnya bekas luka di areal gigitan, namun si korban tak merasakan adanya gejala atau efek dari bisa ular. Jika Anda pernah mengalami kasus ini, maka Anda termasuk salah satu orang yang beruntung.
Faktor kedua yakni jenis serta kompleksitas kandungan bisa yang dimiliki ular. Setiap ular memiliki jenis bisa berbeda-beda, mulai dari neurotoxin yang dapat melumpuhkan kerja syaraf, haemotoxin yang bisa merusak jaringan di areal bekas luka gigitan, cardiotoxin yang mampu menyebabkan kegagalan fungsi jantung, dan lain-lain.
Dalam data yang saya jabarkan sebelumnya, ular kobra tercatat memiliki12 kasus gigitan, dimana tiga korban diantaranya tewas. Sementara king kobra, walaupun tercatat hanya memiliki lima kasus gigitan, hanya ada satu korban yang berhasil selamat dari jeratan kematian. Mungkin, ini adalah pengaruh dari kompleksitas kandungan bisa yang dimilikinya. Kobra memiliki kandungan bisa dari jenis neurotoxin dan haemotoxin, sementara king kobra memiliki kandungan bisa yang mencakup neurotoxin, haemotoxin dan cardiotoxin dalam satu kali gigitannya. Dari sisi ini, sangat jelas terlihat bahwa king kobra memiliki kompleksitas bisa yang jauh lebih mematikan.
Yang juga tak kalah berbahaya yakni ular laut. Meski dalam data hanya ada satu korban tewas yang tercatat, bukan berarti tidak ada korban lain. Data-data korban yang kami sajikan sebelumnya, dihimpun dari beberapa sumber, diantaranya jaringan komunitas, rumah sakit serta dinas kesehatan .Tak menutup kemungkinan, masih ada korban gigitan ular laut yang tidak tercatat, karena mereka tewas di tempat sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit. Terkait tingkat bahaya ular laut, ensiklopedia bebas wikipedia mengatakan sebagai berikut:
“Bisa ular laut sangat kuat karena memiliki kekuatan 60 kali bisa ular kobra (bahkan ada ular laut yang kekuatan bisanya mencapai 700 kali ular kobra) dan mengandung enzim-enzim perusak seperti layaknya jenis-jenis ular elapidae.”
Saya tidak tahu persis darimana sumber keterangan tersebut diperoleh. Namun yang jelas, hal tersebut cukup untuk menggambarkan betapa kuatnya bisa yang dimiliki oleh seekor ular laut. Dalam hal ini, saya lebih yakin dengan apa yang dikatakan DR. dr. Tri Maharani, Msi, SP. EM., satu-satunya dokter di Indonesia yang memiliki subspesialisasi di bidang toksinologi. Menurutnya, jenis bisa ular laut masuk kategori myotoxin, yang bisa menyebabkan otot tubuh kaku dan langsung rusak.
Faktor ketiga adalah kadar atau kuantitas bisa yang terinjeksi dalam tubuh korban.Tidak semua ular akan menghabiskan bisa yang dimilikinya dalam satu kali gigitan. Semakin banyak kuantitas bisa yang disuntikan, maka akan semakin cepat dan kuat pula reaksi yang diterima korban.
Penentu keselamatan keempat yakni kondisi imunitas tubuh korban. Setiap manusia memiliki tingkat imunitas atau kekebalan tubuh yang berbeda-beda. Beberapa korban gigitan ada yang tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit, tidak lebih dari dua jam pasca tergigit ular. Namun salah satu rekan saya ada pula yang mampu menahan efek gigitan king kobra selama lebih dari empat jam, sebelum akhirnya mendapat penanganan medis.
Terakhir atau yang kelima, adalah faktor penanganan pasca tergigit. Sebagian kalangan, termasuk kaum pecinta reptil senior sekalipun, masih ada yang masih percaya dengan sistem pengobatan tradisional. Diantaranya adalah membuat luka baru (sayat/ teknik tusukan) di areal tubuh yang terkena gigitan ular, dengan tujuan untuk mengeluarkan bisa.
Saya enggan berdebat mengenai hal satu ini, terserah pada kepercayaan dan pribadi masing-masing. Saya sendiri memilih untuk lebih percaya pada teknik pengobatan sesuai rekomendasi dari organisasi kesehatan dunia WHO, dimana penanganan medis adalah satu-satunya jalan yang paling benar.
Adapun untuk langkah-langkah yang mesti diambil pasca tergigit, lakukanlah imobilisasi untuk mengurangi pergerakan korban. Imobilisasi bisa dilakukan dengan memasang alat atau penyangga (seperti korban patah tulang) pada sekitar areal gigitan. Video lengkap terkait langkah-langkah pertolongan pertama pada korban, dapat disimak pada link ini.
*
Ular merupakan salah satu hewan yang habitatnya sangat dekat dengan lingkungan manusia. Kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi, membuat reptil purba satu ini dapat tetap bertahan ditengah dinamika perubahan zaman. Konsekuensinya, persinggungan dengan manusia pun tak dapat lagi terhindarkan.
Perlu ditegaskan, setiap ular pada dasarnya akan menghindari interaksi dengan manusia. Mereka hanya akan menyerang bila terusik atau merasa terancam.
Berdasarkan data yang kami peroleh, banyak korban yang tergigit ular berbisa saat tengah beraktivitas di perkebunan atau areal persawahan. Beberapa korban tidak menyadari keberadaan ular, karena warnanya yang hampir serupa dengan dedaunan. Teknik kamuflase ini memang salah satu cara yang sering dilakukan seekor ular, baik untuk berburu mangsa maupun menghindari predator.
Hal lain yang juga menjadi pemicu konflik antara ular dan manusia yakni pembukaan lahan dan alih fungsi hutan. Pada salah satu pemukiman yang baru berdiri di wilayah Bandung Timur, tepatnya di sekitar kaki Gunung Manglayang, Sioux Indonesia cukup sering menerima laporan ular masuk rumah. Saya pikir ini merupakan fenomena yang sangat wajar. Selain karena posisinya dekat dengan hutan dan perkebunan, sebelum komplek perumahan berdiri, toh lokasi ini memang merupakan habitat ular.
Tren ular berbisa sebagai hewan peliharaan merupakan perkara lain yang tak kalah pelik. Sejauh pengamatan saya, ada beberapa motif yang menjadi latar belakang orang gemar memelihara ular berbisa, mulai dari sekedar hiasan (display) hingga sebagai ajang untuk atraksi (snake show).
Dengan melakukan pendekatan khusus, saya pernah coba menyelami pemikiran beberapa rekan yang berkecimpung di dunia snake show. Selain motif ekonomi, ternyata kegiatan macam ini juga mereka lakukan sebagai ajang aktualisasi diri. Dengan kata lain, mereka ingin tampil berbeda, dianggap expert, serta mendapat pengakuan dari orang-orang di sekitarnya.
Sebagian di antaranya melakukan atraksi dengan alibi pelestarian budaya. Sebagian lain bersembunyi di balik kata edukasi. Praktik semacam ini terus menjalar bak penyakit menular. Banyak yang coba meniru, banyak pula yang menjadi korban karenanya.
Ironisnya lagi, banyak dari mereka yang tidak dibekali pemahaman yang benar. Perlakuannya pada hewan seringkali kasar dan menyiksa. Sangat tidak berprikebinatangan. Main asal banting ular, seolah sudah jadi pemandangan yang biasa.
Sebenarnya, kaum pehobi yang hanya menjadikan ular berbisa sebagai display pun tidak selamanya aman dari malapetaka. Insiden serangan mendadak dapat terjadi dalam berbagai kesempatan, tak kenal senior atau junior. Bahaya selalu mengintai, entah saat mereka tengah membersihkan kandang, memberi makan, dan lainnya. Lengah sedikit saja, nyawa bisa jadi taruhannya.***
Dampak yg sangat buruk;((
SukaSuka
Betul, semoga gak berlanjut lagi… 🙂
SukaSuka
Ping balik: Jabar Darurat Gigitan Ular, Apa Yang Terjadi? — Alby Notes – Media Informasi