Taman Batu Unik Nan Instagenik


Stone Garden

Berpose sambil menikmati panorama alam dari Kawasan Stone Garden, Citatah.*

Semilir angin yang berembus mengiringi kedatangan kami di Kampung Girimulya, Desa Gunung Masigit, Citatah, Kabupaten Bandung Barat. Ranting dedaunan serta ilalang tinggi bergoyang, seolah menemani derap langkah perjalanan.

Dari kejauhan, kawanan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) tampak lincah berlarian. Sebagian di antaranya bergegas memanjat tebing batuan tinggi, sementara beberapa ekor kera lain tampak asyik mengais sisa makanan dari dalam bak sampah. Saat coba kami dekati, mereka justru semakin menjauh pergi. Mamalia ini tampaknya tak nyaman berjarak dekat dengan manusia.

Kera ekor panjang (Macaca fascicularis).*

“Hati-hati kang, kalau nyimpen barang atau makanan. Banyak monyet iseng yang suka mencuri,” kata salah satu warga lokal memperingatkan.

Stone garden. Demikian nama populer yang tersemat bagi kawasan wisata satu ini. Pemandangan indah berupa hijau pepohonan, lanskap pedesaan, petak-petak sawah, hingga bentang pegunungan, tampak jelas dari hamparan batu gamping yang terletak pada ketinggian 900 meter diatas permukaan laut (MDPL) ini.

Kontur alam unik membuat Stone Garden perlahan mulai dikenal publik. Ini tentu tak lepas dari pengaruh lalu lintas media daring yang cukup masif dalam menyebarkan akses informasi. Banyak wisatawan sengaja datang dengan alasan penasaran, karena melihat unggahan foto dan video yang seliweran  di jejaring sosialnya.

Selain dapat menikmati indah panorama alam, di sini kita juga dapat mengabadikan berbagai foto dari sudut pandang berbeda. Ada varian spot unik yang dapat dimanfaatkan para pendatang untuk melakukan aktivitas swafoto. Sangat instagenik.

Salah satunya Puncak Panyawangan yang merupakan tebing tertinggi di Stone Garden. Tidak terlalu sulit untuk menaiki puncak tebing ini. Kita hanya perlu berpegang pada bebatuan di sekitar dan berhati-hati dalam memilih pijakan. Sesuai namanya, dalam Bahasa Indonesia, panyawangan berarti penerawangan. Spot ini merupakan lokasi paling tepat untuk menikmati pemandangan sekeliling.

Puncak Panyawangan, tebing tertinggi di kawasan Stone Garden.*

Puncak Panyawangan, Stone Garden.

Mendaki Puncak Panyawangan, Stone Garden.*

Menikmati bentang alam dari Puncak Panyawangan, Stone Garden. Foto: Ade Jonkoping*

Tidak hanya tumpukan batuan besar. Tanaman liar yang tumbuh di lokasi, seperti alang-alang dan Alternanthera brasiliana, juga dapat dimanfaatkan sebagai background yang mampu membuat nuansa foto tampak semakin istimewa.

Kelebihannya lagi, tidak perlu menguras terlalu banyak tenaga untuk dapat menjelajahi kawasan geopark ini. Jalan setapak telah tertata dengan rapi dan relatif landai. Cukup ramah untuk dijamah wisatawan dari berbagai usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.

Dengan ragam pesonanya, tak heran bila belakangan Stone Garden mulai diminati sebagai lokasi foto prewedding. Menurut informasi dari warga setempat, hampir setiap harinya tidak kurang dari lima pasangan muda-mudi yang melangsungkan prosesi foto pra-pernikahan tersebut.

Hal lain yang menarik perhatian saya yakni keberadaan patilasan alias kawasan sakral yang terletak tidak jauh dari Puncak Panyawangan. Penduduk sekitar percaya, tempat ini merupakan pemakaman dari Raden Paku Haji dari Kerajaan Sumedang Larang pada abad ke-18. Pada malam-malam tertentu, konon tempat ini selalu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.

Aktivitas ziarah di area patilasan.*

Dilarang melanggar batas norma & agama.*

Tanaman Alternanthera brasiliana.*

Sebagai salah satu local boy, saya berpendapat bahwa keberadaan Stone Garden cukup memberi warna baru bagi geliat pariwisata di Jawa Barat. Bagi Anda yang belum pernah dan ingin coba berkunjung, tak sulit untuk menemukan lokasi satu ini melalui petunjuk dari layanan aplikasi ponsel google maps.

Dari Bandara Husain Sastranegara, jarak tempuh yang mesti dilalui untuk mencapai Stone Garden hanya sekitar 23 kilometer. Kurang lebih, sekitar satu jam perjalanan dengan kecepatan normal kendaraan roda empat.

Tantangan Menghapus Pertambangan

Berdasarkan penelitian sejumlah ilmuwan, pada zaman purba, kawasan dengan panorama menawan ini awalnya merupakan wilayah laut dangkal. Namun akibat aktivitas bumi serta pergeseran lempeng, akhirnya terbentuklah tebing batuan kapur. Formasi bebatuan tak beraturan yang menjadi daya tarik utama Stone Garden ini, diyakini sebagai terumbu karang yang telah berubah menjadi fosil.

Sayangnya, sebelum beralih fungsi menjadi kawasan wisata, beberapa bukit di sekitar Stone Garden sempat dijadikan areal eksplorasi penambangan batu kapur. Sisa-sisa pertambangan masih terlihat jelas di beberapa titik, tak jauh dari areal konservasi tersebut.

Beruntung saya telah mengenal cukup dekat Bapak Deny Alamsyah. Ia merupakan salah satu tokoh masyarakat, yang keberadaannya tak dapat dipisahkan dari sejarah terbentuknya Stone Garden sebagai kawasan wisata. Kepada saya, Pak Haji – demikian saya menyapanya – bercerita secara gamblang soal sulitnya mengubah budaya tambang yang terlanjur melekat kuat di masyarakat setempat. “Seratus meter dari lokasi ini harus steril dari aktivitas tambang, karena ini area pengembangan penemuan situs purba,” ungkapnya.

Deni Alamsyah (Kiri) menunjukkan keunikan bebatuan kapur di Kawasan Stone Garden. Batuan ini diyakini sebagai terumbu karang yang telah berubah menjadi fosil.*

Kerusakan alam akibat pertambangan di sekeliling Kawasan Stone Garden, tampak jelas dari gambar udara. Foto: Ade Jonkoping.*

Sebagian kecil penambang batuan kapur masih beroperasi.*

Menurutnya, tantangan terberat untuk mengalihkan pekerjaan masyarakat dari pertambangan ke sektor pariwisata, terutama datang dari permasalahan ekonomi. “Kalau jadi buruh tambang, mereka rata-rata bisa dapat upah sekitar 150 ribu satu hari. Sementara di pariwisata gak tentu, kita menunggu pengunjung datang,” kata Pak Haji.

Menyadari pentingnya upaya pelestarian Stone Garden, ia akhirnya membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) bersama beberapa warga setempat. Selain memberikan edukasi tentang nilai-nilai konservasi pada warga, kelompok ini juga terus mencari terobosan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.

Yang menggembirakan, perlahan upaya tersebut mulai membuahkan hasil. Dua tahun lalu, Pokdarwis setempat meraih peringkat 2 nasional pada penganugerahan Pesona Destinasi Pariwisata Indonesia 2017 yang digelar Kementerian Pariwisata. “Kita masuk di tingkat pemberdayaan ekonomi. Sebagai aspirasi terbaik kategori kelompok sadar wisata mandiri,” ucap Pak Haji. Rasa bangga terpancar jelas dari ekspresi wajahnya.

Semoga saja, semakin dikenalnya Stone Garden dapat terus membawa perubahan positif yang berkesinambungan. Sehingga kelestarian situs purba ini tetap terjaga, tanpa harus menimbulkan dilema baru pada masyarakat yang sempat menggantungkan hidup dari hasil tambang.***

Tinggalkan komentar