Blogku yang Mati Suri


Ilustrasi (Source: beritaharianku.com)

Blog ini hampir empat tahun mati suri. Tidak ada lagi aktivitas berarti sejak postingan terakhir pada Oktober, 2019. Dibuka pun hanya sesekali. Yang paling saya ingat, tentu adalah ketika mesti membayar tagihan tahunan untuk registrasi domain senilai US$ 18. Hehehe.

Tapi sepertinya bukan cuma saya. Aktivitas sejumlah blogger lain pun tampak tak jauh berbeda: hidup enggan, mati tak mau.

Ya, melalui kanal ini, saya sempat mengikuti tulisan-tulisan dari cukup banyak blogger keren. Mulai dari travel blogger, food blogger, hingga sekedar curhat beberapa rekan saya di dunia nyata.

Orang-orang yang sebelumnya aktif membagikan tulisannya setiap minggu (atau bulan), kini jarang sekali saya temui celotehannya. Beberapa diantaranya bahkan sudah tidak aktif sejak 5-6 tahun lalu, lebih lama dari saya. Ada yang memilih untuk menggunakan platform lain. Sebagian lagi, saya tak tahu dimana. Ah, sayang sekali.

Saya pikir, blog semakin ditinggalkan karena ia tak efektif lagi untuk mengakomodir eksistensi: viral/ terkenal/ banyak followers. Bukankah memang ini yang diharapkan, setelah susah payah mengeluarkan effort dalam membuat konten? Hingga banyak orang yang (terkadang) rela melakukan hal-hal irasional demi sebuah konten.

Sebagai generasi milenial/ echo boomers (yang biasa digolongkan pada mereka yang lahir era 1980 – 1990, atau pada awal 2000-an), saya mungkin termasuk orang yang seringkali memiliki warisan pemikiran kolot. Kadang, saya masih coba menyelami dan memahami, “Bagaimana bisa manusia-manusia ‘lebay’ ini mampu menarik perhatian begitu banyak orang?”

Namun di sisi lain saya sadar, setiap masa pasti punya perbedaan. Selera saya tak sama dengan orang tua. Mungkin, begitu pula dengan generasi selanjutnya.

Tapi seperti kita tahu, memang secepat itulah teknologi bermetamorfosa. Setiap waktu, akan selalu ada kanal baru yang “lebih gurih” untuk dijajaki.

Di beberapa platform lain seperti Youtube/ Instagram/ TikTok, para pengguna dimanjakan penyebaran informasi dengan sajian audio-visual. Jauh lebih atraktif dan mudah dicerna. Tidak perlu lagi “repot” membaca, cukup pasang mata dan telinga sambil rebahan.

Sementara dalam laman blog, informasi yang dimuat lebih didominasi oleh artikel/ tulisan. Meski sebenarnya bisa saja kita mengunggah konten dalam bentuk foto, video atau audio, namun tampaknya, hal itu belum terlalu populer. Jadi, sangat wajar bukan kalau semakin lama blog semakin sepi peminat?

Terlebih lagi menurut data Unesco (dalam website Kemkominfo), tingkat literasi atau minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, dengan besaran 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang suka membaca. Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Terbawa Arus

Suka atau tidak, perlu saya akui juga jika pada akhirnya saya mulai tarbawa arus. Tahun 2018-an, saya mungkin termasuk satu dari sekian banyak orang yang anti terhadap TikTok. Namun pada pertengahan tahun 2022, rasa penasaran akhirnya menggiring saya untuk mengunduh aplikasi buatan Beijing ByteDance Technology tersebut.

Awalnya hanya menjadi penonton. Tapi lama-lama, saya tergoda juga untuk mulai berkreasi lewat platform ini. Walaupun bukan konten joget-joget juga, tentunya! Hahaa.

Hasrat menjadi kreator semakin menjadi-jadi, ketika salah satu video yang saya unggah ternyata disukai oleh jutaan orang. Seiring dengan hal tersebut, jumlah pengikut bertambah signifikan dan tawaran iklan produk (endorse) mulai berdatangan. Sungguh tidak terduga.

Sebenarnya semua kembali lagi pada pilihan. Tapi bagi saya yang hingga kini masih berkecimpung di dunia media, ada sebuah tuntutan untuk terus beradaptasi terhadap perubahan teknologi.

Akhir kata, ijinkan saya mengutip pernyataan Najwa Shihab dalam salah satu konten youtubenya yang berjudul “Bila Dunia Tanpa Digital“:

“Bicara dunia digital selalu memancing kita untuk menduga-duga, berandai-andai, dan tentu juga khawatir. Perubahan memang terkadang menggelisahkan. Apakah kita dapat menyesuaikan? Atau justru tergilas dan tertinggal.

Sekian!***

Tinggalkan komentar